Platform rekrutmen Liepin di China mengungkapkan lulusan universitas di China memilih bekerja di industri artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan karena menawarkan gaji yang besar.
Lapangan pekerjaan berbasis AI menawarkan gaji rata-rata sekitar USD2600 atau sekitar Rp41 juta per bulan, naik 40 persen dalam tiga tahun terakhir.
Faktor yang membuat gaji bekerja di industri AI besar adalah tingginya permintaan akan keterampilan AI generatif, yang dipicu oleh persaingan untuk mengembangkan layanan serupa dengan ChatGPT.
Selain AI, posisi yang berhubungan dengan blockchain juga muncul sebagai salah satu pilihan yang paling menguntungkan, diikuti oleh posisi dalam sektor perawatan lansia, penerbangan, peralatan luar angkasa, dan perangkat komunikasi, semuanya menawarkan gaji yang bersaing, berkisar antara USD2000 (sekitar Rp32 juta) hingga USD2300 (sekitar Rp36 juta).
Laporan ini menyoroti persaingan sengit dalam merekrut talenta nasional, terutama di kota-kota seperti Xian dan Hefei, yang semakin meningkatkan investasi mereka di sektor teknologi.
Gaji menjadi alat penting dalam usaha kota-kota ini untuk menarik lulusan, dan lulusan menjadi pusat perhatian bagi upaya mereka dalam mengembangkan kekuatan kerja.
Bidang teknologi informasi, internet, dan video game masih tetap populer di kalangan lulusan, meskipun ada pergeseran minat ke arah pekerjaan di bidang elektronik, telekomunikasi, dan semikonduktor, yang terlihat dari hampir dua kali lipatnya jumlah CV yang dikirimkan dibandingkan tahun 2021.
Meskipun rata-rata gaji lulusan universitas pada tahun 2023 mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan tersebut lebih disebabkan oleh ketidakpastian dalam ekonomi makro.
Namun, gaji yang masih diterima oleh lulusan melampaui gaji pada tahun 2021, menunjukkan ketahanan pasar kerja secara keseluruhan di tengah tantangan ekonomi.
Ketika melihat kota-kota, Beijing memimpin dengan gaji rata-rata tertinggi sekitar $1.800 (sekitar Rp28 juta) per bulan, diikuti oleh Shanghai, Shenzhen, dan Hangzhou, yang merupakan markas bagi perusahaan teknologi besar seperti Baidu dan Meituan.
Hal ini mencerminkan konsentrasi peluang kerja dengan gaji tinggi di pusat-pusat kota besar.
Perkembangan pesat dalam sektor AI dan blockchain mencerminkan tren global, meskipun mereka juga membawa tantangan, termasuk pergeseran dalam jenis pekerjaan dan pertimbangan etika yang relevan.
Regulasi Ketat
Baru-baru ini pemerintah China merilis regulasi untuk mengawasi peredaran dan penggunaan layanan chatbot artificial intelligence (AI) generatif. Namun, beberapa pihak menilai regulasi pengawasan itu menghambat inovasi.
Komite Teknis Standardisasi Keamanan Informasi Nasional, sebuah badan yang memiliki kewenangan dalam menetapkan standar keamanan teknologi informasi mengungkap regulasi pengawasan AI itu fokus pada dua aspek utama yaitu perlindungan data pelatihan dan pengaturan large language model (LLM) yang digunakan dalam layanan AI generatif.
"Panduan ini mewajibkan para pengembang AI untuk menggunakan data resmi dalam proses pelatihan AI dan harus menjalani prosedur pemeriksaan keamanan untuk mencegah pelanggaran data dan hak cipta. Tujuannnya untuk memastikan kualitas dan legalitas data yang digunakan dalam algoritma AI," tulis regulasi tersebut seperti dikutip Gizmochina.
Panduan itu juga mengacu pada konsep "sistem daftar hitam" yang bertujuan untuk menghalangi penggunaan materi pelatihan yang mengandung lebih dari 5% konten ilegal atau berbahaya, sesuai dengan undang-undang keamanan siber negara.
Meskipun regulasi itu dirancang untuk memastikan bahwa layanan AI menghasilkan konten yang bertanggung jawab dan legal, langkah ini juga memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap inovasi dan kebebasan berpendapat.
Regulasi itu menyarankan bahwa teknologi algoritma AI harus berdasarkan pada model yang diajukan dan disahkan oleh otoritas yang berwenang.
Hal ini dapat membatasi ruang lingkup eksperimen dan inovasi para pengembang, yang pada gilirannya dapat menghambat perkembangan teknologi dengan berbagai aplikasi.
Selain itu, regulasi AI itu juga menambahkan lapisan baru dalam pengawasan pemerintah. Ada kekhawatiran bahwa model AI dapat digunakan untuk menyebarkan narasi tertentu, seperti yang terlihat ketika chatbot China memberikan berbagai respon terkait status Taiwan selama uji coba internal, bahkan ada yang menolak untuk merespons dan mengakhiri percakapan.
Di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur penggunaan AI, sementara beberapa negara lain telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap perkembangan teknologi ini.
Bikin Superkomputer
Pemerintah China akan meningkatkan daya saing komputasi secara signifikan sebagai bagian dari upaya mereka untuk memperkuat fokus pada inovasi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Strategi China itu memanaskan persaingan antara China dan Amerika Serikat (AS) dalam berbagai sektor teknologi tinggi, termasuk semikonduktor, superkomputer, dan AI.
China menargetkan kemampuan daya komputasinya mencapai 300 EFLOPS pada 2025. EFLOPS adalah singkatan dari exaFLOPS yang merupakan adalah unit pengukuran yang digunakan dalam komputasi super tingkat tinggi, menggambarkan seberapa cepat komputer dapat melakukan perhitungan matematika dalam satu detik.
Satu EFLOPS setara dengan satu quintillion (10^18) operasi titik mengambang per detik. Hal itu adalah angka yang sangat besar dan menggambarkan sejauh mana komputer dapat melakukan perhitungan matematika dalam waktu satu detik.
Kinerja superkomputer yang diukur dalam EFLOPS digunakan dalam berbagai aplikasi yang membutuhkan pemrosesan data sangat cepat, termasuk simulasi iklim, penelitian ilmiah, pengembangan obat, dan penelitian nuklir.
Menurut MIIT, Saat ini kemampuan komputasi China telah mencapai 197 EFLOPS pada tahun ini, naik dari 180 EFLOPS pada tahun 2022, menjadikannya peringkat kedua setelah Amerika Serikat (AS).
Selain meningkatkan daya komputasi, China juga berencana membangun lebih banyak pusat data di seluruh negeri untuk memfasilitasi akses bisnis ke daya komputasi.
Demi mendukung pertumbuhan industri kecerdasan buatan yang pesat, Beijing juga akan memperkuat infrastruktur komputasi di wilayah barat Tiongkok.
Provinsi-provinsi yang luas tetapi jarang dihuni di Tiongkok, seperti Guizhou di barat daya, telah lama dianggap sebagai tempat yang cocok untuk mendirikan pusat data besar untuk mendukung layanan internet di seluruh negeri.
Selain itu, China akan meningkatkan kecepatan dan efisiensi jaringan komputasi, dengan tujuan memastikan bahwa latensi antara fasilitas komputasi kritis tidak melebihi 5 milidetik.
Super komputer dengan kinerja EFLOPS digunakan untuk berbagai aplikasi yang memerlukan pemrosesan data yang sangat cepat, seperti simulasi iklim, penelitian ilmiah kompleks, pengembangan obat, penelitian nuklir, dan banyak lagi.
Semakin tinggi kinerja superkomputer (dinyatakan dalam EFLOPS), semakin cepat mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut.
Baca Juga: Kalahkan Photoshop, Adobe Bakal Hadirkan Pengeditan Foto Berbasis AI
Baca Juga: Profesional dengan Keterampilan ChatGPT Banyak Dicari di Indonesia
Baca Juga: Tak Hanya ChatGPT, Ini Tools AI untuk Membantu Pekerjaan Periset
Baca Juga: Microsoft Gelar Program Bing AI Bug Bounty, Hadiahnya Menarik
Baca Juga: Tingkatkan Efisiensi AI, OpenAI Bakal Hadirkan Update Besar-besaran
Baca Juga: Mau Kalahkan Chip Apple Seri M, Snapdragon X Harus Punya Fitur AI Ini
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR