Selama ini pengembangan obat memerlukan waktu yang sangat lama hingga mencapai belasan tahun.
Kini perusahaan farmasi mengklaim bahwa kehadiran teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan mempercepat proses ini.
Selama puluhan tahun, industri kesehatan telah menghadapi kendala dalam mempercepat pengembangan obat, sementara berbagai penyakit terus bermunculan dan mengancam jutaan nyawa.
Berdasarkan informasi dari Nature, pengembangan obat memerlukan waktu antara 12 hingga 15 tahun, dari fase awal inisiasi program hingga mendapatkan izin pemasaran.
Proses yang sangat panjang ini dapat menghabiskan biaya hingga USD2,5 miliar atau sekitar Rp39,2 miliar, dengan hanya satu dari sepuluh obat yang biasanya berhasil melewati seleksi pemasaran.
Pada Februari, Boston Consulting Group (BCG) melaporkan hasil penelitian 20 perusahaan farmasi yang baru mulai menggunakan teknologi AI antara tahun 2010 hingga 2021.
Hasilnya, delapan dari 15 calon obat berhasil melewati uji klinis dalam waktu kurang dari satu dekade. Bahkan lima di antaranya berhasil melewati tahap ini lebih cepat.
Sebagai tambahan, kecerdasan buatan diklaim dapat menghemat waktu dan biaya sekitar 25-50% pada tahap penemuan obat hingga tahap praklinis, menurut Wellcome, pemberi dana penelitian BCG.
Insilico Medicine, sebuah perusahaan farmasi yang berbasis di Kota New York dan Hong Kong, juga melaporkan bahwa mereka berhasil mempercepat penemuan obat untuk penyakit fibrosis paru idiopatik dengan menggunakan kecerdasan buatan.
Mereka berhasil menyelesaikan tahap praklinis hanya dalam waktu 30 bulan. Proses penemuan obat meliputi tahap penemuan, praklinis, dan uji klinis.
Namun, perlu diingat bahwa klaim ini masih perlu diverifikasi secara independen sebelum dianggap sah, dan penemuan tersebut harus diterbitkan sebagai literatur peer-reviewed serta disahkan oleh peneliti yang tidak terafiliasi dengan perusahaan farmasi, sehingga tetap diperlukan kewaspadaan dalam menanggapi hasil-hasil ini.
Obat Diet dan Diabetes
Sebuah laporan berita terbaru mengungkap para peneliti dari China berhasil menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk menemukan obat yang dapat membantu penurunan berat sekaligus mengobati diabetes tipe 2.
Perusahaan farmasi berbasis AI MindRank mengembangkan obat ini dan saat ini sedang menjalani uji klinis fase 2 dan akan segera memasarkan obat ini.
Obat yang dikenal sebagai MDR-001 ini bekerja dengan mengikat reseptor peptida-1 yang mirip dengan glukagon (GLP-1-R). Dengan mengikat reseptor ini, obat ini merangsang pelepasan insulin dari pankreas, yang membantu menurunkan kadar gula darah dan berat badan.
MDR-001 berhasil melewati uji klinis fase 1 pada bulan Juni, yang mengkonfirmasi efektivitas dan keamanannya. Pada awal September, uji klinis fase 2 sudah dimulai.
Saat ini ada lebih dari 537 juta orang dewasa di seluruh dunia menderita diabetes dan sekitar 650 juta orang menghadapi masalah obesitas secara global.
Karena itu, pengembangan obat ini memiliki potensi untuk membantu perusahaan China bersaing dalam pasar bernilai miliaran dolar secara global.
"Uji praklinis biasanya memerlukan tiga hingga empat tahun, tetapi MDR-001 mendapatkan persetujuan Investigational New Drug (IND) dari FDA dan NMPA dalam waktu 19 bulan," kata Jin Xurui, Seorang Ahli Pengembangan Obat AI dari MindRank
Selain meningkatkan kecepatan pengembangan, pendekatan berbasis AI itu juga menghasilkan obat dengan kualitas yang unggul.
Dalam uji coba yang melibatkan monyet, MDR-001 membantu monyet yang mengalami obesitas mencapai berat badan yang sehat tanpa mengalami efek rebound setelah menghentikan penggunaan obat.
Dr. Du Yu, seorang investor independen, mencatat bahwa menggunakan AI untuk mengurangi biaya pengembangan obat juga akan menguntungkan pasien dengan kondisi medis langka, karena perusahaan farmasi seringkali enggan mengembangkan obat untuk kelompok pasien dengan jumlah yang relatif kecil karena margin keuntungan yang rendah.
"Dengan melibatkan AI dalam proses farmasi, biaya pengembangan obat baru dapat dikurangi, yang pada akhirnya akan membantu pasien dengan beberapa penyakit langka," ujarnya.
Baca Juga: Tak Mau Kalah, Apple Kembangkan Chatbot AI Generatif Mirip ChatGPT
Baca Juga: Tantang ChatGPT, Meta Resmi Luncurkan Chatbot Canggih Meta AI
Baca Juga: Dijual Rp20 Jutaan, Harga Asli iPhone 15 Pro Max Hanya Rp8 Jutaan
Baca Juga: Apple Kembangkan Vision Pro Harga Murah, Fitur-fitur ini Disunat
Source | : | Gizmochina |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR