Akhirnya parlemen Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa (UE) menyetujui Undang-undang komprehensif pertama di dunia yang mengatur kecerdasan buatan setelah 37 jam negosiasi maraton.
Komisaris Eropa, Thierry Breton, menyebut perjanjian ini "bersejarah" dan mencakup pengaturan terhadap media sosial dan mesin pencari besar seperti X, TikTok, dan Google. Meskipun rincian undang-undang masih terbatas, diharapkan mulai berlaku pada 2025.
Perjanjian melibatkan perjuangan, terutama terkait pengawasan berbasis AI, dengan pengecualian terbatas untuk situasi tertentu, seperti ancaman teroris. Undang-undang ini didasarkan pada sistem berjenjang berbasis risiko, memprioritaskan mesin dengan risiko tertinggi terhadap kesehatan, keselamatan, dan hak asasi manusia. GPT-4 adalah satu-satunya model yang masuk dalam definisi risiko tertinggi, menempatkan UE di garis depan pengaturan AI global.
Perjanjian tersebut menempatkan UE di depan AS, China, dan Inggris dalam perlombaan untuk mengatur kecerdasan buatan dan melindungi masyarakat dari risiko
Kesepakatan politik antara Parlemen Eropa dan negara-negara anggota UE mengenai undang-undang baru yang mengatur AI itu merupakan perjuangan yang sulit. Parlemen Eropa melarang penggunaan AI untuk pengawasan real-time dan teknologi biometrik, termasuk pengenalan emosi, tetapi dengan tiga pengecualian. Hal ini berarti polisi hanya dapat menggunakan teknologi invasif jika terjadi ancaman serangan teroris yang tidak terduga, kebutuhan untuk mencari korban, dan dalam penuntutan kejahatan berat.
Dalam teks aslinya diperkirakan hal ini akan mencakup semua sistem dengan lebih dari 10.000 pengguna bisnis. Kategori risiko tertinggi kini ditentukan oleh jumlah transaksi komputer yang diperlukan untuk melatih mesin, yang dikenal sebagai "operasi floating point per detik" (Flops).
Baca Juga: Kini Bing Memiliki Fitur Deep Search, Hadirkan Jawaban Lebih Lengkap
Baca Juga: NVIDIA Prioritaskan Pengiriman Chip AI ke Jepang
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR