Google mengembangkan teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang menggunakan machine learning untuk menganalisis suara batuk dan napas manusia guna mendeteksi dan memonitor penyakit.
Google memperkenalkan konsep itu sebagai Health Acoustic Representations (HeAR) yanv memanfaatkan jutaan klip audio untuk melatih sistem AI dalam mengidentifikasi penyakit pernapasan, termasuk tuberkulosis dan Covid-19. Teknologi AI itu menjanjikan kemungkinan penggunaan di bidang medis, meskipun belum sepenuhnya dapat dikomersialisasikan.
“Dalam dunia kedokteran, kami telah menggunakan banyak pembelajaran yang diawasi. Ini sangat bagus karena Anda memiliki validasi klinis,” kata Yael Bensoussan, Ahli Laringologi di University of South Florida di Tampa.
Metode pelatihan yang digunakan oleh tim Google melibatkan pembelajaran tanpa supervisi, memanfaatkan data suara yang tidak diberi label, yang berbeda dengan pendekatan tradisional yang bergantung pada data berlabel. Meskipun masih dalam tahap pengembangan, model ini berpotensi menjadi alat penting bagi penelitian medis di masa depan.
Ada lebih dari 300 juta video pendek yang berisi klip suara orang batuk, bernapas, membersihkan tenggorokan, serta suara-suara manusia lainnya yang sudah diupload di Youtube, dipelajari oleh sistem tersebut.
Bukan Teknologi Baru
Contoh penerapan Artificial Intelligence (AI), terutama dalam menghentikan Covid-19, tentu sangat dinanti. Begini AI mendeteksi Covid-19 hanya lewat suara batuk. Sebuah riset terbaru Institut Teknologi Massachusetts (MIT) mengungkapkan bahwa penyakit Covid-19 bisa dideteksi lewat batuk dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Hebatnya, teknologi AI ini bisa mengidentifikasi pasien Covid-19 tanpa gejala (OTG) dari suara batuk yang dikeluarkan. Awalnya, para peneliti mengambangkan algoritma kecerdasan buatan (AI) ini untuk mendiagnosis gejala pneumonia dan asma.
Algoritma serupa juga dikembangkan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda penyakit Alzheimer pada seseorang dari suara batuk. Salah satu peneliti Brian Subirana mengatakan para peneliti mencari tahu apakah algoritma yang mereka kembangkan untuk mendeteksi Alzheimer juga berfungsi untuk mendiagnosis Covid-19.
"Ada bukti bahwa pasien yang terinfeksi mengalami beberapa gejala neurologis serupa, seperti gangguan neuromuskuler sementara," ujarnya.
Para peneliti MIT merancang teknologi AI yang memiliki tiga lapis jaringan neural (neural network). Ketiga jaringan tersebut adalah algoritma dasar (ResNet50) untuk mengukur kekuatan pita suara, teknologi untuk menentukan tingkat emosional, dan teknologi untuk mendeteksi anomali di sistem pernapasan.
Riset Sejak April
Para peneliti kemudian mengumpulkan sampel suara batuk sebanyak mungkin, termasuk dari penderita Covid-19. Peneliti membuat sebuah website khusus di mana para peserta yang berpartisipasi bisa mengirimkan rekaman suara batuk mereka sambil mengisi survei kesehatan. Saat ini para peneliti sudah mengumpulkan lebih dari 70.000 sampel suara batuk, 2.500 di antaranya adalah rekaman batuk dari pasien Covid-19, termasuk penderita yang tanpa gejala (OTG).
Peneliti menggunakan 2.500 suara batuk pasien Covid-19 dan 2.500 suara batuk individu yang sehat. Kemudian, dari 5.000 sampel tersebut, peneliti menggunakan sebanyak 4.000 sampel untuk melatih algoritma AI. Sementara 1.000 sampel lainnya digunakan untuk melihat apakah AI tersebut bisa mendeteksi secara akurat atau tidak. Peneliti mengatakan teknologi ini mampu mendeteksi Covid-19 dari orang yang bergejala dengan tingkat akurasi 98,5 persen.
Sedangkan, pendeteksian Covid-19 dari OTG, disebut memiliki tingkat akurasi hingga 100 persen hanya dari suara batuk. Para peneliti ini lanjut mengklaim bahwa batuk orang yang terpapar Covid-19, baik itu yang memiliki gejala dan OTG, dengan batuk orang biasa sejatinya memiliki "suara" yang berbeda. Perbedaan ini disebut tidak bisa didengar oleh telinga manusia, namun bisa ditangkap oleh teknologi AI yang telah dibuat tadi.
Ingin dibuat menjadi aplikasi
Karena tingkat akurasinya yang tinggi, para peneliti MIT ingin menyematkan teknologi ini ke dalam sebuah aplikasi smartphone yang bisa diunduh secara gratis. Namun, sebelum dipakai oleh orang luas, aplikasi ini harus disetujui terlebih dahulu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat. Apabila disetujui dan dirilis, pengguna nantinya bisa membuka aplikasi tersebut setiap hari dan merekam aktivitas batuk di depan ponsel mereka masing-masing. Hal ini untuk mengetahui apakah mereka terpapar Covid-19 atau tidak.
Dengan begitu, orang-orang yang memakai aplikasi tersebut bisa mencegah penyebaran virus sebelum mereka pergi ke tempat-tempat umum.
"Implementasi aplikasi ini bisa mengurangi penyebaran virus Covid-19 apabila orang-orang menggunakannya sebelum pergi ke sekolah, pabrik, atau restoran," kata Brian, sebagaimana dikutip NewsMIT.
Baca Juga: Keren! Model AI Sora Milik OpenAI Bakal Dipakai Buat Film Hollywood
Baca Juga: Manfaat Penggunaan Teknologi AI Generatif untuk Industri UMKM
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR