"Semua negara punya peran dalam menciptakan kerangka normatif ini," kata Wakil Asisten Utama Sekretaris Paul Dean dari Biro Pengendalian Senjata, Pencegahan, dan Stabilitas, Kementerian Luar Negeri AS, dalam konferensi pers yang dipantau dari Jakarta, Kamis.
"Penggunaan AI tidak terbatas di medan perang saja, tetapi teknologi tersebut dapat digunakan militer di seluruh operasi, termasuk dalam hal efisiensi. Ada potensi risiko jika teknologi tersebut tidak digunakan secara bertanggung jawab," ujarnya.
Karena itu, deklarasi politik dan aturan-aturan perilakunya ditujukan untuk membimbing negara-negara dalam menggunakan teknologi tersebut secara bertanggung jawab.
Salah satu bukti atas pentingnya peran tersebut adalah deklarasi politik yang disampaikan 54 negara yang bergabung untuk mendukung kontribusi konstruktif dari negara mana pun yang siap memainkan peran penting dalam menciptakan kerangka normatif tersebut. Deklarasi politik mencerminkan sejumlah aturan dasar perilaku yang mengatur bagaimana negara akan melakukan tinjauan hukum, dan memastikan tidak ada kesenjangan akuntabilitas dalam penggunaan AI di bidang militer.
"Saya kira teknologi ini akan benar-benar merevolusi militer di berbagai aplikasi," katanya.
Meskipun AI memiliki potensi untuk merevolusi militer dalam berbagai aplikasi, ada juga risiko yang terkait dengan penggunaannya jika tidak dilakukan dengan bijaksana. AS juga menekankan pentingnya penggunaan AI dalam pengendalian dan stabilitas nuklir, tetapi membutuhkan kemitraan internasional untuk membuat kemajuan dalam hal ini. AS menggarisbawahi bahwa stabilitas dalam penggunaan teknologi ini memerlukan komunikasi terbuka, kejelasan doktrin, dan batasan yang disepakati bersama.
Baca Juga: Saingi ChatGPT, Baidu Kenalkan Model AI Terbaru Ernie 4.0 Turbo
Source | : | The Verge |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR