Di era transformasi digital yang semakin cepat, modernisasi aplikasi adalah salah kunci bagi perusahaan untuk bersaing dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Salah satu solusi yang dapat mendukung proses ini adalah teknologi IBM Power.
Hal ini menjadi topik yang diulas dalam acara InfoKomputer Innovate yang berjudul “Accelerating Digital Transformation: Modernizing Applications with IBM Infrastructure,” yang berlangsung di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Modernisasi Aplikasi dan Arsitektur Microservices
Naldi Attamimi, Partner Technical Specialist for IBM Power, IBM Indonesia, menjelaskan bahwa modernisasi aplikasi merupakan bagian dari upaya modernisasi operasional secara keseluruhan yang juga mencakupkan modernisasi platform, proses, dan insight. Modernisasi operasional ini bertujuan, antara lain, mempercepat time-to-market dan mengadopsi praktik-praktik modern seperti DevOps.
Dalam konteks ini, arsitektur aplikasi yang sering diasosiasikan dengan modernisasi aplikasi adalah microservices. Naldi membeberkan beberapa keunggulan arsitektur microservices dan penggunaan kontainer jika dibandingkan dengan pendekatan monolitik yang dianggap bersifat lebih tradisional.
“Aplikasi monolitik ibarat sebuah kotak besar yang menjalankan banyak fungsi dalam satu kesatuan,” jelas Naldi di acara yang diadakan InfoKomputer bersama IBM Indonesia dan PT Multipolar Technology Tbk. Wahasil, ketika ada perubahan atau penambahan fungsi, seluruh aplikasi harus diubah dan diuji kembali, yang bisa memakan waktu dan sumber daya.
“Di sisi lain, dalam arsitektur microservices, aplikasi dipecah menjadi boks-boks kecil yang masing-masing menjalankan fungsi atau layanan sesuai dengan kebutuhannya,” ujarnya. Dengan pendekatan ini, setiap boks dapat dimodifikasi atau diperbarui secara independen tanpa memengaruhi fungsi lainnya. Hal ini memungkinkan pengembang untuk lebih cepat melakukan perubahan, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi risiko saat memperbarui aplikasi.
Keunggulan lain arsitektur microservices adalah scaling yang efisien. Naldi menjelaskan, ketika adalah kebutuhan menambah fungsi tertentu dalam aplikasi besar, scaling hanya dilakukan pada layanan spesifik, bukan pada seluruh infrastruktur. “Ini akan menghemat sumber daya,” tandasnya.
Selain itu, dengan pendekatan microservices, tim pengembang dapat menggunakan berbagai bahasa pemrograman sesuai kebutuhan layanan masing-masing sehingga memberikan fleksibilitas yang lebih besar. “Misalnya, front-end dapat menggunakan .NET, sementara back-end dapat menggunakan Java,” Naldi mencontohkan.
Arsitektur microservices juga memungkinkan komponen-komponennya diuji secara independen sehingga pengujian dan rilis fitur baru dapat dilakukan dengan lebih cepat. “Sekarang, cukup dengan melakukan testing di spesifik services tersebut tidak perlu ada implikasi terhadap layanan-layanan yang lainnya,” jelas Naldi.
Di sisi pengembang atau developer, arsitektur microservices memungkinkan pengembang bekerja secara paralel pada fungsi-fungsi spesifik, tanpa harus menunggu satu sama lain. “Di mana hal ini akan mempercepat time to market dan juga mempersingkat siklus pengembangan (development cycle), karena karena setiap tim dapat fokus pada layanan yang mereka kelola,” ujarnya.
Seiring dengan pesatnya perkembangan arsitektur microservices yang memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam pengembangan aplikasi, teknologi seperti IBM Power dan Red Hat OpenShift menjadi kunci dalam mempercepat proses transformasi digital.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR