Seiring digitalisasi di berbagai lini kehidupan, modernisasi aplikasi tak bisa ditawar lagi. Modernisasi aplikasi akan menjadi batu loncatan yang penting bagi terwujudnya inovasi dengan AI.
Menurut prediksi Gartner, pada tahun 2025, lebih dari 50% anggaran TI akan dialokasikan untuk platform cloud. Artinya, sebagian besar beban kerja (workload) dan aplikasi baru akan dijalankan di atas platform cloud, terutama platform cloud-native.
Masih dari Gartner, lebih dari 85% organisasi menyatakan akan mengadopsi prinsip cloud-first pada tahun 2025 dan organisasi tidak akan dapat sepenuhnya melaksanakan strategi digitalnya tanpa arsitektur dan teknologi cloud-native.
Sementara studi yang dilakukan MIT Sloan menemukan bahwa 83% eksekutif meyakini artificial intelligence (AI) sebagai prioritas strategis bagi bisnis saat ini.
Perpindahan besar-besaran menuju platform cloud dan adopsi AI sebagai prioritas strategis menunjukkan betapa pentingnya modernisasi aplikasi dalam mendorong pertumbuhan bisnis di era digital.
Dukungan Arsitektur dan Infrastruktur Modern
Dalam konteks modernisasi aplikasi, Vony Tjiu, Country Manager, Red Hat Indonesia menyoroti pentingnya dukungan arsitektur dan infrastruktur yang modern, misalnya transformasi dari arsitektur monolitik ke microservice untuk mempercepat pengembangan aplikasi.
“Nah, customer saat ini biasanya butuh ada service baru, ada fitur baru dengan cepat. Nah, hal itu hanya akan bisa dicapai dengan microservice tadi misalnya,” ujar Vony. Ia memberikan contoh salah satu bank terkemuka, pengguna solusi Red Hat, dapat merilis fitur baru di aplikasinya yang digunakan oleh belasan juta nasabah dalam waktu kurang dari satu jam.
Sementara dari sisi metode pengembangan saat ini terjadi peralihan dari metode waterfall ke Continuous Integration & Continuous Delivery (CI/CD) untuk siklus pengembangan yang lebih kontinu. Selain itu, menurut Vony, metode pengembangan ini juga menjaga aplikasi tetap aman, baik di lingkungan on-premises maupun di lingkungan hybrid multi-cloud.
Vony menambahkan, yang tak kalah pentingnya dalam pengembangan aplikasi modern adalah penggunaan hybrid multi-cloud, terutama untuk fleksibilitas infrastruktur. Hybrid multi-cloud memungkinkan perusahaan menyesuaikan skala sumber daya sesuai kebutuhan, sehingga lebih efisien secara biaya.
“Terkadang ada hari-hari tertentu yang membutuhkan peningkatan kapasitas secara tiba-tiba, misalnya promo tanggal istimewa. Oleh karena itu, pelanggan membutuhkan infrastruktur hybrid yang konsisten, yang memungkinkan mereka untuk memperluas kapasitas ke cloud saat diperlukan. Dengan demikian, mereka tidak perlu menyediakan sumber daya dalam jumlah besar sejak awal, yang tentunya lebih efisien dari segi biaya,” jelasnya.
Tantangan Aplikasi Legacy
Salah satu tantangan yang kerap dijumpai dalam upaya modernisasi aplikasi adalah keberadaan sistem dan aplikasi legacy. Terkait hal itu, menurut Vony, ada tiga pendekatan utama yang bisa diambil oleh perusahaan, yaitu melakukan re-hosting, refactoring, dan rebuilding aplikasi.
Re-hosting dilakukan dengan memindahkan aplikasi yang masih diperlukan ke platform baru, seperti menjalankannya sebagai virtual machine (VM) di atas container tanpa perubahan signifikan. Sementara refactoring melibatkan pembongkaran aplikasi dari arsitektur monolitik ke microservices untuk mempercepat pengembangan dan pembaruan. Namun jika aplikasi sudah terlalu usang dan tidak bisa dimodifikasi, maka rebuild menjadi opsi terakhir, di mana aplikasi harus dibangun ulang dari awal.
Menjawab tantangan ini, Red Hat membekali platform Red Hat OpenShift dengan fitur yang memungkinkan aplikasi berbasis virtual machine (VM) dan container berjalan secara berdampingan dalam satu platform.
“Pada kenyataannya kita semua tahu, pasti ada kombinasi antara virtual machine untuk aplikasi legacy dan container untuk aplikasi modern. Bahkan di bank-bank besar pun pasti ada kombinasi antara aplikasi legacy dan juga aplikasi modern, dua-duanya harus bisa jalan bareng. Dan terkadang, antara aplikasi yang tradisional dan aplikasi yang modern itu masih perlu ngobrol sehingga perlu terintegrasi,” jelas Vony Tjiu.
Dalam arsitektur tradisional, biasanya lapisan container diletakkan di atas lapisan virtualisasi. “Namun, dengan fitur virtualisasi baru dari Red Hat OpenShift, urutannya dibalik. Server dulu, platform container, baru VM-nya di atas. Konsepnya adalah VM akan dilihat sebagai container juga, jadi semuanya berjalan di atas platform container," Vony memaparkan cara kerja fitur virtualisasi OpenShift.
Dengan pendekatan ini, manajemen operasional IT menjadi lebih mudah, karena semuanya dapat dilihat dan dikelola melalui satu dashboard di OpenShift. Lebih lanjut, keberadaan aplikasi legacy dan modern di satu platform ini disebut Vony akan memudahkan dari sisi pengembangan, operasional, dan standardisasi dari aplikasi-aplikasi itu sendiri.
Selain itu, platform Kubernetes ini juga memungkinkan aplikasi berjalan di berbagai lingkungan, seperti on-premises, public cloud, dan hybrid cloud. Vony menjelaskan, OpenShift dapat berjalan di platform cloud yang berbeda, seperti AWS (Red Hat OpenShift on AWS/ROSA), Azure (Azure Red Hat OpenShift/ARO), dan Red Hat OpenShift Dedicated di Google Cloud, tanpa perlu membangun ulang aplikasi.
Menurut Vony, fleksibilitas ini memungkinkan pelanggan untuk memperluas aplikasi yang sudah berjalan di data center ke berbagai cloud, menjadikannya solusi yang efisien. “OpenShift juga mendukung aplikasi yang berjalan di edge, seperti pada perangkat IoT, misalnya seperti di sektor mining,” ujarnya.
Sebagai informasi, OpenShift merupakan salah satu bagian dari pendekatan open hybrid cloud dari Red Hat yang berupa infrastruktur dan platform teknologi untuk memungkinkan perusahaan menjalankan dan mengelola aplikasi, termasuk aplikasi AI, di berbagai lingkungan, baik di on-premises, private cloud, maupun public cloud.
Tantangan Change Management dan Modernisasi
Dalam proses modernisasi aplikasi, Vony Tjiu juga menggarisbawahi tantangan utama yang sering dihadapi oleh perusahaan, yaitu change management. "Tantangan terbesar untuk mengadopsi modern application development itu tentunya adalah change management. Dari arsitekturnya, infrastrukturnya, sampai cara kita bekerja, semuanya berubah. Bahkan dari cara mengoperasikan virtualisasi dengan container saja sudah sangat berbeda," jelasnya.
Ia menekankan bahwa keberhasilan adopsi aplikasi modern sangat bergantung pada tiga aspek: people, process, dan teknologi. "Kita harus memastikan bahwa tim IT benar-benar memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menjalankan proses pengembangan aplikasi modern tersebut. Dari Red Hat, kami menyediakan training dan sertifikasi untuk membantu meningkatkan kapabilitas tim IT," tambahnya.
OpenShift AI untuk Percepat Inovasi AI
Keberadaan aplikasi di satu platform yang mendukung hybrid cloud juga akan lebih memudahkan perusahaan ketika mengadopsi AI, terutama dari sisi integrasi, koneksi, dan skalabilitas.
Menurut studi Red Hat, 60% enterprise berencana menggunakan hybrid cloud untuk menjalankan inisiatif AI. Sementara 90% AI adopter berencana menggunakan container.
“Jadi dari sisi arsitektur memang untuk menjalankan AI, mereka membutuhkan container dan dari sisi infrastruktur, memang enam puluh persen enterprise mengatakan mereka memilih jalan di hybrid cloud,” tegas Vony Tjiu.
Red Hat secara khusus juga baru-baru ini menyediakan OpenShift AI untuk memudahkan organisasi dan perusahaan membangun aplikasi AI. Di atas OpenShift AI, pengembang, operasional TI, serta data scientist dapat melakukan aktivitas mereka di satu platform yang sama sehingga diharapkan dapat mempercepat inovasi.
OpenShift AI juga dibekali model bahasa besar (LLM) terbuka milik IBM, Granite. Red Hat dan IBM membuka sumber LLM Granite melalui inisiatif InstructLab, yang memungkinkan pelanggan untuk menggunakan dan berkontribusi pada LLM tersebut. Melalui InstructLab, pelanggan dapat menggabungkan berbagai model, tidak terbatas pada LLM mainstream, seperti Granite atau Llama, meski pelanggan harus memeriksa lebih lanjut untuk memastikan kompatibilitas LLM yang akan digunakan.
Keamanan di Berbagai Lapisan
Untuk keamanan, Red Hat menerapkan pendekatan menyeluruh di berbagai lapisan platformnya, termasuk sistem operasi, kontainer, aplikasi, pipeline perangkat lunak, otomatisasi, dan layanan cloud. “Keamanan tentunya selalu jadi prioritas pada hybrid cloud itu sendiri karena kami percaya customer maupun pengguna mengharapkan aplikasi bisa running di semua platform, selalu tersedia, on demand dan aman,” ujar Vony.
Untuk pengamanan di layer strategis yang mencakup endpoint, jaringan, dan data, Red Hat menerapkan open security automation framework. Vony menjelaskan, framework ini menggabungkan beberapa security practice dengan menggunakan automated workflow.
“Dengan melakukan ini, organisasi akan mendapatkan visibilitas yang lebih baik terhadap semua fungsi security yang ada dan memungkinkan untuk identifikasi ancaman dan remediasi serangan dengan lebih cepat, karena sudah diautomasi,” jelas Vony.
Di sisi produk, menurut Vony, Red Hat memastikan penerapan security assessment di semua sistem dan tools yang dipakai oleh Red Hat. “Software supply chain security team pasti akan bekerjasama dengan tim produk untuk mengadopsi teknologi baru tanpa mengorbankan security,” imbuhnya.
Red Hat juga bekerja sama dengan para pemilik sistem hardware di mana software Red Hat digunakan dalam upaya memperkuat sistem dan tool.
“Kami juga melakukan control mapping terhadap industry benchmark dan industry standard. Industri tertentu memiliki tuntutan dan kriteria keamanan yang berbeda, misalnya di industri kesehatan, atau di Eropa, ada GDPR. Jadi kami akan memastikan semua platform Red Hat comply ke industry benchmark dan industry standard yang berlaku,” jelas Vony Tjiu.
Teknologi Red Hat juga memungkinkan perusahaan membangun dan mengelola hybrid cloud dengan keamanan melalui praktik DevSecOps, serta menyediakan produk seperti Red Hat Trusted Software Supply Chain dan Developer Hub untuk membantu pengembang membangun dan memantau aplikasi dengan aman.
Modernisasi Aplikasi untuk Menuju AI
Vony Tjiu menegaskan peran pengembangan aplikasi modern sebagai batu loncatan penting untuk bertransformasi menuju adopsi dan inovasi AI. “Untuk memulai ke AI, customer pasti membutuhkan sebuah platform aplikasi yang modern, menjadi semacam stepping stone untuk menuju ke AI. Kalau dari aplikasinya masih monolitik,, nggak mungkin bisa di-infuse AI ke dalamnya,” kata Vony
Ia kemudian memaparkan contoh beberapa pelanggan Red Hat yang sudah menerapkan pengembangan aplikasi modern. Bank Mandiri, misalnya, berhasil merilis fitur baru untuk jutaan pengguna dalam waktu kurang dari satu jam. Hal ini, menurut Vony, menunjukkan manfaat kecepatan dan skalabilitas yang didapat dari platform Red Hat.
OCBC juga merasakan manfaat dari platform otomatisasi Red Hat yang meningkatkan produktivitas tim mereka dengan skalabilitas dan keamanan yang lebih baik. Sementara BNI, yang baru saja menerima Red Hat Innovation Award, mengungkapkan bahwa OpenShift memungkinkan kecepatan pemrosesan transaksi yang lebih cepat tanpa mengorbankan kinerja, termasuk saat terjadi peningkatan pengguna dan unduhan.
Vony menjelaskan, beberapa bank telah mengintegrasikan solusi AI, seperti machine learning untuk aplikasi anti-money laundering, fraud protection, dan credit scoring dengan memanfaatkan platform OpenShift. Contoh lainnya termasuk aplikasi customer-facing seperti E-KYC dan face detection, yang juga diintegrasikan ke dalam OpenShift untuk meningkatkan fungsionalitas dan pengelolaan data.
Modernisasi aplikasi menjadi langkah penting untuk memanfaatkan AI dan cloud dalam mendukung transformasi digital. Dengan arsitektur yang fleksibel, perusahaan dapat beradaptasi lebih cepat dan mendorong inovasi, menjadikan proses ini krusial bagi pertumbuhan di era digital.
Baca juga: Red Hat Berikan Lima Alasan Perusahaan Perlu Adopsi Kecerdasan Buatan
Baca juga: Rilis Platform RHEL AI, Red Hat Permudah Akses & Penggunaan Gen AI
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR