Apabila Anda merasa harga ponsel high-end saat ini semakin mahal, bisa jadi pemikiran itu tidak salah. Banderol harga tinggi untuk sebuah smartphone flagship terkini akan menjadi suatu kewajaran baru ke depannya.
Ketika Apple merilis iPhone X dengan banderol 1.000 dollar AS tahun lalu (sekitar Rp 13 juta saat itu), sempat terbersit keraguan apakah ada yang mau merogoh kocek begitu dalam demi satu unit perangkat yang terlampau mahal dibanding iPhone 8 dan iPhone 8 Plus?.
Keraguan itu dijawab dengan pengakuan CEO Apple, Tim Cook yang mengklaim bahwa iPhone X menjadi yang paling laris di antara perangkat Apple lainnya, seminggu setelah dirilis.
Larisnya iPhone X menjadi awal keyakinan Apple bahwa konsumen rela membayar lebih untuk sebuah ponsel, sebagaimana mereka merogoh kocek lebih untuk mendapatkan laptop yang canggih.
Tren iPhone mahal akan berlanjut pada lini iPhone 2018 yang diperkirakan akan rilis akhir 2018. Banderol ponsel mahal tak hanya dimiliki iPhone. Vendor Android yang memiliki pasar lebih besar pun menjual ponsel high-end mereka semakin mahal dari tahun ke tahun.
Saat Ini Sebut saja Samsung, Huawei, atau OnePlus. Hanya dalam dua tahun saja, harga jual Samsung Galaxy S9 di pasar Amerika Serikat naik 15,1 persen, terhitung dari Galaxy S7 yang rilis tahun 2016.
Seri Huawei P harganya juga naik 33 persen sejak tahun 2016. Sementara harga ponsel OnePlus naik 32,6 persen di pasar AS dan 42,6 persen. Lalu, apa sebenarnya alasan vendor terus-terusan mengatrol harga ponsel high-end mereka?
Ponsel menjadi kebutuhan Tak dipungkiri, konsumen memegang peran penting dalam penentuan harga ponsel. Tren harga ponsel papan atas yang semakin melambung menegaskan pentingnya kehadiran ponsel dalam kegiatan komunikasi pengguna sehari-hari, baik untuk pekerjaan, fotografi maupun hiburan.
Kebutuhan kualitas dan kritisnya dari generasi ke generasi juga meningkat, seperti ketelitian pemilihan prosesor, teknologi kamera, daya tahan baterai dan kecepatan konektivitas.
"Konsumen siap membayar lebih untuk ponsel, karena bisa dibilang, ponsel menjadi bagian penting dari hidup mereka," jelas kepala analis lembaga riset CCS Insight, Ben Wood.
Hal senada juga diungkap perwakilan OnePlus yang berdalih bahwa peningkatan kualitas komponen perangkat selaras dengan permintaan peforma yang unggul. "Saat kepercayaan pada smartphone meningkat tajam dalam waktu singkat, peningkatan kualitas komponen dibutuhkan untuk mengimbangi permintaan peningkatan kinerja," ujar perwakilan OnePlus.
Tentu saja hal ini sesuai dengan hukum penawaran yang mengatakan, semakin tinggi harga, jumlah ketersediaan barang atau jasa yang ditawarkan juga akan meningkat. Bagi konsumen kelas atas, harga ponsel yang melambung bukan lagi barang baru.
Mereka paham betul, komponen yang lebih baik, lebih cepat seperti chipset dan kamera membutuhkan biaya produksi yang tidak murah. Biaya lain yang turut memengaruhi produk final adalah penelitian dan pengembangan (R&D) material baru, serta inflasi yang mungkin saja terjadi di luar biaya produksi.
Penciptaan kelas atas baru Namun perlu diketahui bahwa biaya riset dan inflasi bukan satu-satunya alasan mahalnya ponsel high-end. Para vendor sekelas Apple, Samsung dan lainnya yang selalu menaikkan harga ponselnya tiap kali merilis seri baru, dengan sengaja menciptakan kelas konsumen anyar untuk pasar mereka, yakni ultra high-end.
Kelas ini menjadi mesin profit sendiri bagi vendor. Segmen ini rata-rata menggunakan ponsel mereka lebih lama, antara tiga tahun atau lebih. Menurut salah satu analis International Data Corporation (IDC), Anthony Scarsella, meski pengapalan smartphone menurun pada tahun 2018, namun rata-rata penjualannya justru naik.
"Walaupun secara keseluruhan pengapalan smartphone menurun tahun 2018, harga jual rata-rata (ASP) ponsel mencapai 345 dollar AS (Rp 5 jutaan), naik 10,2 persen dari 313 dollar AS (4,5 juta) yang didapat tahun 2017," jelasnya.
Ia menambahkan, bahwa kenaikan harga khususnya terjadi pada jajaran ponsel high-end. Perbandingan yang jelas terdapat pada model ponsel yang sama yang dirilis tahun ini dengan ponsel keluaran dua tahun lalu.
Biaya produksi terus naik Dari tabel di atas, terlihat hanya Google yang menjaga harga Google Pixel tetap berada pada angka 649 dollar AS. Selain Samsung, vendor lain asal Korea Selatan, LG juga terlihat menaikan harga ponselnya.
Menurut senior director global communication LG, Ken Hong, naiknya harga komponen, insentif operator, dan banderol ponsel pesaing yang juga naik menjadi alasan LG ikut mendongkrak harga.
"Faktanya, biaya input juga naik, jadi kami dipaksa mengikutinya," imbuh Hong.
Layaknya barang elektronik lainnya, ponsel juga butuh pasokan komponen lain. Komponen tersebut memengaruhi biaya produksi, yang akhirnya berdampak pada harga jual.
Jika diamati, ponsel high-end dalam setahun terakhir banyak yang menawarkan kapasitas RAM dan ROM yang besar. Hal tersebut ternyata berpengaruh pada permintaan storage dan memicu kenaikan harga.
Tingginya permintaan memori akan mendorong pemasok untuk berinvestasi lebih, membangun pabrik lain untuk mencukupi permintaan. Selain memori, smartphone high-end juga bersaing dalam keunggulan kamera.
Tengoklah iPhone X dengan sensor 3D di kamera depan, atau Huawei P20 Pro dengan triple kamera di punggung, tentu memiliki ongkos produksi yang mahal. Belum kemewahan pada desain yang membalut ponselnya dengan bahan keramik atau kaca, dan alumunium untuk bingkai depan.
Dengan demikian, bisa dibayangkan harga jual untuk ponsel dengan layar kaca berlian pertama atau yang mengadopsi Vibrant Satin Corning Gorilla Glass nantinya, tidak akan murah.
"Saya setuju bahwa beberapa biaya elemen berasal dari komponen dan proses manufakturing, tapi tidak menjadi yang terbesar," jelas Wood kepada Cnet.
"Saya juga yakin jika Apple membuat keputusan strategis untuk menaikan harga ponsel flagship iPhone untuk memaksimalkan laba," imbuh Wood.
Tren yang diprediksi terus berlanjut "Selama ponsel menjadi kebutuhan perangkat komputer utama sehari-hari, konsumen akan merogoh kantong lebih dalam," kata Carolina Milanesi, analis dari Creative Strategies.
Seperti dijelaskan di awal, banderol iPhone X yang tembus Rp 13 jutaan kala itu, menjadi awal tren harga ponsel high-end yang semakin mencekik. Apple menempatkan titik baru untuk industri kelas high-end secara keseluruhan, tidak hanya pada lini iPhone saja.
Diikuti fitur ikonik lain yang mulai diikuti ponsel Android, seperti desain layar "poni", menghilangkan tombol home, adopsi 3D depth-sensing untuk membuka dan mengunci layar, serta meniadakan sensor fingerprint.
Kemungkinan, Apple akan mengulang pola untuk semakin menaikan harga ponselnya saat meluncurkan lini iPhone 2018. Ponsel midrange masih aman Sementara itu, pasar ponsel level mid-range dan low-end semakin ramai.
Beberapa vendor menjadi pemain utama di pasar ini dengan harga perangkat berkisar Rp 2-5 jutaan. Vendor high-end juga mulai menyasar papan tengah. Huawei misalnya dengan sub-brand nya Honor, yang mengusung desain dan fitur populer dengan banderol terjangkau.
Oppo, Xiaomi, Asus, dan Nokia juga menelurkan ponsel-ponsel untuk menjangkau konsumen berdompet tipis.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Harga iPhone dan Ponsel Android Kian Mahal? Ini Sebabnya".
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR