Saat menjalankan Mollys, restoran makanan kemasan miliknya, Stefan Kalb mendapati masalah serius terkait stok bahan baku restoran yang harus ia buang. Jika dihitung, rata-rata 28 persen stok bahan baku akhirnya menjadi sampah karena kadaluarsa.
Kalb merasa, angka itu terlalu tinggi. Namun saat Kalb melakukan penelusuran lebih lanjut, ia menemukan angka 28% itu sebenarnya masih di bawah rata-rata industri.
Mengapa ada begitu banyak bahan baku yang akhirnya terbuang? Kalb menemukan, masalah terbesar adalah kebanyakan restoran kesulitan menemukan jumlah stok bahan baku makanan yang sesuai dengan penjualan.
Di satu sisi, restoran takut menyimpan terlalu sedikit stok karena berpotensi mengurangi penjualan. Namun karena ketakutan tersebut, restoran cenderung menyimpan terlalu banyak stok sehingga persentase stok yang harus dibuang pun kian besar.
Hal inilah yang mendorong Kalb mengontak rekannya, Bede Jordan, yang kala itu bekerja sebagai software engineer di Microsoft. Keduanya sepakat untuk membuat sebuah prediction engine yang bisa meramal angka penjualan sehingga bisa merekomendasikan stok yang lebih optimal.
Kalb dan Jordan pun meluncurkan Shelf Engine pada 2016 dan menawarkan teknologi itu kepada perusahaan lainnya. "Ini adalah salah pencapaian luar biasa pada karir saya," kata Kalb kepada TechCrunch.
Manfaatkan Machine Learning
Mesin prediksi Shelf Engine bekerja dengan cara menganalisa data stok dan penjualan selama ini. Lalu menggunakan pendekatan machine learning, Shelf Engine bisa merekomendasikan jumlah stok yang optimal agar restoran bisa meminimalisir stok yang terbuang sekaligus meningkatkan keuntungan restoran.
Agar rekomendasi semakin akurat, data yang dianalisa Shelf Engine mencakup semua restoran yang menggunakan mesin ini. Dengan kata lain, semakin banyak toko yang menggunakan mesin Shelf Engine, semakin akurat rekomendasi yang bisa diberikan.
Kalb yang kini menjadi CEO Shelf Engine mengklaim, Shelf Engine dapat meningkatkan laba bersih customer-nya sampai 25 persen dan mengurangi makanan-makanan yang terbuang sebesar 16-18 persen dari yang sebelumnya 30 persen. Bahkan untuk bahan baku yang memiliki masa kadaluarsa sampai 45 hari, persentase yang terbuang bisa sekecil 3-4 persen.
"Industri makanan memiliki keuntungan yang tipis dan Shelf Engine hadir untuk meningkatkan keuntungan tersebut," kata Kalb.
Untuk menarik restoran memanfaatkan layanannya, Shelf Engine memberi insentif menarik bagi restoran dan supplier. Insentif dilakukan dengan menanggung selisih antara barang yang terjual dengan barang yang dipesan.
Cara kerjanya seperti ini. Restoran memesan bahan baku sesuai rekomendasi Shelf Engine. Ketika bahan baku tersebut kemudian kadaluarsa, pihak restoran hanya perlu membayar supplier berdasarkan bahan baku yang terjual saja. Akan tetapi, pihak supplier tetap akan dibayar penuh sesuai pesanan awal karena bahan baku yang terbuang akan ditanggung oleh Shelf Engine.
Dengan cara ini, risiko yang ditanggung restoran dan supplier praktis berkurang. Shelf Engine pun mendapat keuntungan karena mendapat data yang bisa digunakan untuk membuat mesin prediksi yang lebih akurat.
Kalb pun yakin akan masa depan Shelf Engine. "Supply chain makanan adalah pasar yang sangat besar dan menawarkan banyak kesempatan untuk dioptimalkan" ungkap Kalb.
Source | : | Tech Crunch |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR