Setiap September, EA Sports akan memuaskan dahaga penggemar game sepakbola dengan merilis game sepakbola FIFA. Demikian pula tahun ini. EA Sports sudah mengumumkan kehadiran FIFA 19 pada 28 September mendatang. Bahkan versi demonya sudah bisa di-download sejak 15 September 2018 kemarin di Playstation, XBox, maupun PC.
Salah satu pembahasan menarik setiap kemunculan game FIFA adalah rating pemain. Di seri FIFA 19 ini, Ronaldo dan Messi menjadi pemain dengan rating paling tinggi (94), disusul Neymar Jr (92), Luka Modric (91), dan De Bruyne (91).
Nama-nama di atas hanyalah lima dari sekitar 18 ribu pemain yang ada di game FIFA 19. Untuk pemain yang sudah terkenal dan bermain di liga utama dunia, memberikan rating mungkin masih mudah. Namun, bagaimana untuk pemain dari negara “antah berantah” yang namanya belum pernah didengar?
Dalam sebuah wawancara dengan ESPN, Michael Mueller-Moehring menceritakan mekanisme EA Sports dalam memberikan rating pemain. Mueller-Moehring sendiri adalah Head of Data Collection and Licensing EA Sports yang bertanggung jawab memberikan rating kepada seluruh pemain di dalam game FIFA.
Jaringan Tim Penilai
Untuk pemain yang relatif tidak dikenal, Mueller-Moehring mengaku pemberian rating hanya sekadar perkiraan. “Awalnya kami hanya mengira-ngira, sampai tim penilai melihat langsung performa pemain tersebut” ungkap Mueller-Moehring.
Tim penilai itu sendiri adalah jaringan yang dibentuk EA Sports dengan anggota sekitar 9000 orang. Ribuan anggota tersebut adalah pelatih, pemandu bakat (scout), serta pemilik tiket terusan yang rajin menonton pertandingan. Mereka diminta memberikan penilaian subyektif atas performa pemain. Data tersebut kemudian dipadukan dengan data statistik yang dikumpulkan EA Sports.
Ada sekitar 300 editor yang bertugas memadukan data tim penilai dan statistik yang didapat dari berbagai liga. Semua data dipiliah menjadi 300 jenis data dan 35 atribut spesifik (seperti pace, dribbling, atau passing).
Kombinasi Data
Jika sudah punya data statistik, mengapa EA Sports masih menggunakan masukan dari tim penilai yang subyektif? Soal ini, Mueller-Moehring punya alasan tersendiri. “Jika semata berbasis data, kami harus memiliki data dari semua liga, tim, dan pemain. Dan saat ini, tidak ada satu pihak pun yang bisa menyediakan data selengkap itu” ungkap Mueller-Moehring.
Masalah lain adalah data statistik tidak serta-merta menunjukkan kemampuan pemain. Contohnya pemain Manchester City akan memiliki angka statistik passing completion (persentase keberhasilan operan) yang tinggi. Hal ini tidak lepas dari pola permainan tim asuhan Guardiola yang menerapkan possesion football. Padahal, belum tentu kemampuan mengoper pemain Manchester City tersebut lebih baik dari seorang pemain Leicester City yang menerapkan pola kick and run.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR