Seorang ekonom di abad 19 bernama Williams Stanley Jevons memiliki teori menarik tentang anomali kemajuan teknologi dengan jumlah konsumsi. Jevons menyebut, ketika sebuah teknologi semakin murah, biaya total yang kita keluarkan terhadap teknologi tersebut tidak menurun. Yang terjadi justru sebaliknya: semakin murah sebuah teknologi, semakin tinggi konsumsi dari teknologi tersebut.
Salah satu contoh sederhana dari Jevons Paradox ini adalah penggunaan listrik. Seiring kemajuan teknologi pembangkit listrik, biaya listrik per KWh mengalami penurunan. Namun karena harga yang lebih murah itu, konsumsi listrik secara global justru meningkat. Kita menggunakan listrik tidak lagi sekadar untuk penerangan, namun juga keindahan, keamanan, atau sekadar hiburan.
Dengan kata lain, kita menganggap listrik itu murah, dan itu justru meningkatkan konsumsi listrik kita secara keseluruhan.
Meningkatkan Efisiensi Cloud
Dalam konteks yang mirip, hal itu pula yang terjadi pada area cloud computing. Seiring perkembangan teknologi, biaya yang dibutuhkan untuk mengadopsi cloud kini terus menurun. Contohnya layanan AWS EC2 ukuran m3.2xlarge di tahun 2013 dibandrol di angka US$1,4. Namun kini, layanan yang sama dibandrol di angka US$0,745, atau turun 46,79%.
Namun harga yang kian terjangkau justru meningkatkan konsumsi cloud. Gartner menyebut, konsumsi cloud di tahun 2018 akan mencapai US$186,4 miliar, atau meningkat 21,4% dibanding tahun sebelumnya.
Ketika semakin banyak perusahaan mengadopsi cloud, muncul tantangan lain. Jika berkaca pada laporan State of the Cloud Report 2018 yang dirilis RightScale, saat ini masalah efisiensi menjadi tantangan utama. Semakin panjang pengalaman sebuah perusahaan dalam memanfaatkan cloud, semakin besar tantangan yang harus dihadapi saat mengelola pengeluaran.
Hal ini tidak lepas dari fakta semakin tinggi ketergantungan perusahaan terhadap solusi cloud. Berdasarkan survei RightScale, lebih dari separuh (52%) responden dari level perusahaan enterprise mengaku mengeluarkan US$1,2 juta per tahun untuk layanan cloud. Seperempat perusahaan enterprise bahkan mengeluarkan anggaran sampai US$6 juta per tahun.
Fokus Utama
Apa sebenarnya tantangan terbesar dalam mengelola cloud? Jika berkaca pada survei yang dilakukan SoftwareONE, 37% responden menyebut tantangan terbesar terletak pada pengeluaran yang sulit diprediksi. Sementara 30% responden mengungkap kurangnya transparency dan visibility dari penggunaan cloud.
Apapun itu, yang jelas meningkatkan efisiensi penggunaan cloud menjadi fokus utama banyak perusahaan di tahun ini. Sebanyak 52% responden menjadikan optimasi penggunaan cloud menjadi fokus utama mereka di tahun ini. Bahkan Forrester Report menyebut, 37% responden yang terdiri pengambil keputusan telah memiliki project berjalan untuk mengoptimasi penggunaan cloud.
Lalu, apa yang harus dilakukan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan cloud? Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan.
1. Monitor dengan Ketat
Kemudahan dan kecepatan memiliki computing resource baru adalah keunggulan mendasar teknologi cloud. Hanya dengan beberapa klik, kita bisa mendapatkan "server" baru yang digunakan untuk berbagai keperluan.
Akan tetapi, kemudahan ini pula yang berpotensi menyebabkan inefisiensi. Karena itu, perusahaan harus bisa memonitor jumlah dan penggunaan cloud secara lebih komprehensif. Untungnya, sebagian besar penyedia layanan cloud menyediakan tools untuk memonitor hal ini.
Contohnya AWS yang memiliki Cost and Usage Report atau Microsoft Azure dengan Azure Monitor dan Cost Management Services.
Para ahli merekomendasikan untuk memonitor secara rutin konsumsi cloud seminggu sekali. Atau jika menyangkut sebuah workload yang sangat dinamis, pengawasan bisa dilakukan setiap hari.
2. Optimalkan Penggunaan Tags
Penggunaan tags bisa menjadi cara efektif untuk memonitor penggunaan cloud. Tags ini bisa mencakup banyak hal, seperti menunjukkan sebuah workload adalah pengembangan atau produksi, expired date sebuah workload, divisi mana yang bertanggung jawab, dan lain sebagainya.
Namun agar mekanisme tags ini efektif, perusahaan harus memastikan seluruh pihak yang terlibat disiplin menggunakannya. Agar tercapai kesamaan pemahaman tersebut, RightScale menyarankan komunikasi yang jelas di awal pentingnya penggunaan tags. Setelah itu, lakukan pengawasan untuk memastikan tiap workload menggunakan tags sebagaimana mestinya. Jika masih ada yang “membandel”, tim manajemen bisa memberikan peringatan atau memberikan sanksi berupa penghentian sementara workload tersebut.
3. Maksimalkan Automation
Di awal proses adopsi, mengelola cloud secara manual relatif mudah dilakukan. Namun ketika adopsi semakin besar, apalagi ketika melibatkan multi cloud provider, sudah saatnya perusahaan melakukan automation.
Seperti diungkapkan analis dari Forrester, Lauren E. Nelson, efisiensi akan tergantung kematangan perusahaan dalam memanfaatkan cloud management serta governance practice. “Saat ini muncul ketergantungan untuk memanfaatkan automation tools untuk visibility, consistency, dan scalability” ungkap Nelson.
Salah satu automation tools adalah cloud cost monitoring and optimization (CCMO). Menurut Wave Report yang dirilis Forrester per kuartal dua 2018, ada beberapa nama yang layak dipertimbangkan. RightScale, CloudHealth Technologies, Turbonomic, dan Density masuk kategori Leaders. Sementara Apptio, CloudCheckr, dan Microsoft masuk ke kategori Strong Performers.
4. Gunakan Pendekatan Sistematis
Efisiensi penggunaan cloud bukan cuma membutuhkan pendekatan teknis, namun juga business process yang tepat. Untuk mencapai hal itu, Gartner menyarankan framework yang terdiri dari lima langkah, yaitu Plan, Track, Reduce, Optimize, dan Mature.
Inti dari lima langkah itu adalah Anda harus memiliki perkiraan anggaran yang dibutuhkan untuk sebuah implementasi di cloud. Lalu ketika proses berjalan, monitor pengeluaran dan bandingkan dengan budget untuk menghindari sesegera mungkin anomali yang terjadi. Setelah itu, kurangi setiap pemborosan yang terjadi sambil melakukan optimasi. Semua langkah tersebut dilakukan secara kontinu untuk menjamin tercapainya efisiensi yang maksimal.
5. Hati-hati Vendor Lock-in
Ada adigium yang mengatakan, layanan cloud itu mudah masuk, namun susah keluar.
Hal ini menimpa sebuah startup Indonesia yang mengeluarkan US$20 ribu per bulan untuk infrastruktur cloud-nya. Sialnya, perusahaan tersebut kesulitan menurunkan biaya tersebut karena terjebak dalam platform cloud yang mereka gunakan saat ini. Jika diteruskan, mereka harus menanggung inefisiensi yang terjadi. Namun ketika memaksa pindah platform, biaya yang dibutuhkan pun tidak sedikit.
Kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk menghindari vendor lock-in. Dalam banyak kasus, memiliki ketergantungan terhadap cloud provider tertentu mungkin memang tidak bisa dihindari. Namun setiap keputusan untuk “menyerahkan” infrastruktur TI atau data ke penyedia cloud harus dibarengi dengan analisa menyeluruh, bukan hanya karena lebih mudah. Meski centralized data menawarkan keuntungan, decentralized data juga memiliki kelebihan tersendiri.
Dengan melakukan analisis komprehensif atas semua pilihan yang ada, resiko terkena vendor lock-in bisa dihindari.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR