Tahun 2018 menjadi tahun yang menantang bagi pelaku industri telekomunikasi di Indonesia. Pasalnya, seluruh operator seluler mengalami penurunan pendapatan, sementara industri mencatat pertumbuhan minus hingga 7 persen.
Meski demikian, operator seluler Telkomsel tak ingin menganggap tahun 2018 sebagai tahun buruk yang ingin dilupakan.
"Bagi saya tidak (untuk dilupakan), ada pelajaran bagi kita," kata Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah di acara jumpa media di Denpasar.
Menurut Ririek, ada tiga faktor utama yang membuat industri telekomunikasi di Indonesia menurun, yakni kebijakan registrasi kartu SIM prabayar, perang harga, dan penurunan layanan legacy (telepon/SMS).
Registrasi kartu SIM prabayar Soal registrasi kartu SIM prabayar, Ririek mengatakan ini adalah usaha yang dilakukan oleh operator seluler di seluruh dunia. Indonesia termasuk yang terakhir dalam menerapkan kebijakan ini.
Walau menyebabkan efek negatif dalam jangka pendek, namun secara jangka panjang kebijakan ini disebut Ririek memiliki dampak positif. Pertama adalah membuat pelanggan makin loyal.
"Kalau dulu perilakunya pakai-buang (kartu SIM), sekarang lebih loyal," kata Ririek.
Dampak positif kedua dari registrasi kartu SIM menurut Ririek adalah keamanan bagi negara. Jika dulu pemilik kartu SIM bisa melakukan apa saja -termasuk SMS penipuan- maka kini lebih diperketat lagi aturan kepemilikannya.
Perang harga Harga paket data di Indonesia dikatakan Ririek "banting-bantingan" selama 2018. Indonesia disebut Ririek menjadi salah satu negara yang harga paket datanya rendah.
Walau bagus bagi pelanggan, namun tidak bagi industri menurut Ririek. Karena industri harus bertahan dengan menghasilkan pendapatan.
"2018 itu tidak ada operator yang untung, kalau rugi mau sampai kapan?" tanya Ririek.
Jika operator seluler tidak sustain, lalu layanan memburuk, ujung-ujungnya adalah penutupan layanan, sehingga yang rugi adalah masyarakat juga karena fasilitas telekomunikasi tidak ada.
Penurunan SMS dan telepon Tahun 2018 menurut Ririek adalah titik balik bagi Telkomsel, di mana revenue layanan legacy yakni voice (telepon) dan SMS tercatat turun.
Untuk pertama kalinya pula pendapatan non-legacy (data internet) lebih dominan. Pendapatan Telkomsel dari layanan telepon dan SMS pada 2018 lalu disebut menyumbang 47 persen revenue total.
Sementara layanan non-legacy (data) sebesar 53 persen. Pada akhir kuartal I-2019 angka revenue dari layanan non-legacy bahkan lebih tinggi lagi dan diklaim Ririek mencapai 61 persen, sementara revenue layanan legacy hanya menyumbang 39 persen.
Oleh karena itu, Telkomsel mendorong harga layanan telekomunikasi di Indonesia bukan murah, namun terjangkau.
Masyarakat bisa membeli, sementara operator bisa menjual layanannya dengan harga yang sehat sehingga bisa mempertahankan bisnisnya.
Walau secara industri bisnis telekomunikasi mengalami penurunan hingga minus 7 persen, namun penurunan revenue Telkomsel masih di bawah angka rata-rata industri, yakni minus 4,3 persen.
Nilai EBITDA Telkomsel juga minus sepanjang 2018 lalu, namun jika dibandingkan antara awal 2018 dan akhir kuartal I-2019 lalu, Ririek mengklaim revenue share Telkomsel naik sebesar 2,3 persen, dari 60,2 persen menjadi 68 persen.
Telkomsel sendiri bakal menerbitkan laporan tahunan kuartal I-2019 selengkapnya pada 3 Mei mendatang.