Marlon tak bisa menyembunyikan nada getir di suaranya. “Saat ini saya dan banyak teman-teman driver seperti memakan buah simalakama,” ungkapnya.
Marlon adalah salah satu sopir taksi online yang sehari-hari beroperasi menyisir jalanan ibu kota. Ketika memulai pekerjaan ini tiga tahun lalu, Marlon mendapatkan keuntungan finansial yang lumayan. “Dulu ada bonus mingguan dan bulanan, dari insentif saja sudah bisa bayar cicilan mobil,” cerita Marlon. Karena itulah ia kemudian berani mengambil kredit mobil untuk dijadikan modal menjadi sopir taksi online.
Namun kini, kondisi jauh berbeda. Skema insentif menjadi sangat susah, sehingga menyulitkan biaya operasional sehari-hari. Sebagai perbandingan, Marlon dulu bisa mendapatkan penghasilan harian kotor sampai dengan Rp500 ribu dalam ritme kerja yang santai. Sekarang, dengan ritme kerja yang lebih berat, pendapatan maksimal yang bisa dibawa pulang hanya Rp300 ribu.
Dengan penghasilan tersebut, Marlon mengaku kesulitan untuk memenuhi tuntutan cicilan mobil operasionalnya yang mencapai Rp3,7 juta per bulan. “Nerusin (kredit) pahit, dibuang sayang banget. Sekarang ini driver untuk memenuhi kebutuhan di rumah aja enggak bisa,” imbuhnya.
Menimbulkan Protes
Turunnya pendapatan sopir taksi online bukan cuma karena skema insentif yang terus turun. Mereka kini juga dihimpit murahnya tarif serta semakin banyaknya jumlah kendaraan taksi online yang menambah persaingan. Tiga faktor itu menjadi perpaduan yang membuat kesejahteraan pengemudi taksi online kian tertekan.
Itu sebabnya, pengemudi taksi online berulang kali melakukan demonstrasi untuk menyuarakan kesusahan mereka. Mulai dari demo di depan Istana Negara awal tahun lalu, sampai dengan demo di depan kantor Gojek pada 5 Agustus kemarin.
Dalam aksinya, beberapa komunitas sopir taksi online yang menamakan diri Gerakan Hantam Aplikator Nakal (Gerhana) menuntut dihentikannya perekrutan sopir taksi online baru. Permintaan itu bukan untuk menguntungkan sopir taksi lama, melainkan lebih pada implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus.
“Dalam aturan itu jelas sebelum ada kuota baru, aplikator dilarang untuk melakukan penerimaan driver baru. Namun faktanya, baik Gojek atau Grab masih menerima pendaftaran. Kami khawatir nanti kalau terus (sopir taksi online) bertambah, perbandingan antara supply dan demand tidak harmonis lagi, nanti teman-teman akan susah di lapangan,” ucap Ketua Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (ORASI), Fahmi Maharaja.
Selain itu, aksi itu juga menuntut perbaikan di sisi insentif. Saat ini, Gocar menerapkan insentif sebesar Rp300 ribu dari 25 trip per dua minggu. Angka itu meningkat dari syarat sebelumnya, yaitu Rp400 ribu dari 21 trip.
Perwakilan sopir juga mengklaim insentif yang tidak manusiawi itu mendorong sebagian sopir taksi online melakukan order fiktif dan akhirnya berujung suspensi. Karena itu, tuntutan lain mereka adalah membebaskan sopir yang saat ini terkena hukuman. “Bukannya kami membela teman yang salah, tetapi terkadang sistem juga ikut bertanggung jawab terhadap suspensi teman-teman. Intinya, harus ada pembenahan dalam manajemen untuk suspensi ini, klarifikasi dulu sebelum suspensi sepihak,” imbuh Fahmi.
Mencari Jalan Tengah