Find Us On Social Media :

Lain dulu, Lain Sekarang: Kisah Suram Pengemudi Taksi Online

By Administrator, Selasa, 3 September 2019 | 15:26 WIB

Nasib sopir taksi online kini tidak segemerlap dulu lagi

Marlon tak bisa menyembunyikan nada getir di suaranya. “Saat ini saya dan banyak teman-teman driver seperti memakan buah simalakama,” ungkapnya.

Marlon adalah salah satu sopir taksi online yang sehari-hari beroperasi menyisir jalanan ibu kota. Ketika memulai pekerjaan ini tiga tahun lalu, Marlon mendapatkan keuntungan finansial yang lumayan. “Dulu ada bonus mingguan dan bulanan, dari insentif saja sudah bisa bayar cicilan mobil,” cerita Marlon. Karena itulah ia kemudian berani mengambil kredit mobil untuk dijadikan modal menjadi sopir taksi online.

Namun kini, kondisi jauh berbeda. Skema insentif menjadi sangat susah, sehingga menyulitkan biaya operasional sehari-hari. Sebagai perbandingan, Marlon dulu bisa mendapatkan penghasilan harian kotor sampai dengan Rp500 ribu dalam ritme kerja yang santai. Sekarang, dengan ritme kerja yang lebih berat, pendapatan maksimal yang bisa dibawa pulang hanya Rp300 ribu.

Dengan penghasilan tersebut, Marlon mengaku kesulitan untuk memenuhi tuntutan cicilan mobil operasionalnya yang mencapai Rp3,7 juta per bulan. “Nerusin (kredit) pahit, dibuang sayang banget. Sekarang ini driver untuk memenuhi kebutuhan di rumah aja enggak bisa,” imbuhnya.

Menimbulkan Protes

Turunnya pendapatan sopir taksi online bukan cuma karena skema insentif yang terus turun. Mereka kini juga dihimpit murahnya tarif serta semakin banyaknya jumlah kendaraan taksi online yang menambah persaingan. Tiga faktor itu menjadi perpaduan yang membuat kesejahteraan pengemudi taksi online kian tertekan. 

Itu sebabnya, pengemudi taksi online berulang kali melakukan demonstrasi untuk menyuarakan kesusahan mereka. Mulai dari demo di depan Istana Negara awal tahun lalu, sampai dengan demo di depan kantor Gojek pada 5 Agustus kemarin.

Dalam aksinya, beberapa komunitas sopir taksi online yang menamakan diri Gerakan Hantam Aplikator Nakal (Gerhana) menuntut dihentikannya perekrutan sopir taksi online baru. Permintaan itu bukan untuk menguntungkan sopir taksi lama, melainkan lebih pada implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus.

“Dalam aturan itu jelas sebelum ada kuota baru, aplikator dilarang untuk melakukan penerimaan driver baru. Namun faktanya, baik Gojek atau Grab masih menerima pendaftaran. Kami khawatir nanti kalau terus (sopir taksi online) bertambah, perbandingan antara supply dan demand tidak harmonis lagi, nanti teman-teman akan susah di lapangan,” ucap Ketua Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (ORASI), Fahmi Maharaja.

Selain itu, aksi itu juga menuntut perbaikan di sisi insentif. Saat ini, Gocar menerapkan insentif sebesar Rp300 ribu dari 25 trip per dua minggu. Angka itu meningkat dari syarat sebelumnya, yaitu Rp400 ribu dari 21 trip.

Perwakilan sopir juga mengklaim insentif yang tidak manusiawi itu mendorong sebagian sopir taksi online melakukan order fiktif dan akhirnya berujung suspensi. Karena itu, tuntutan lain mereka adalah membebaskan sopir yang saat ini terkena hukuman. “Bukannya kami membela teman yang salah, tetapi terkadang sistem juga ikut bertanggung jawab terhadap suspensi teman-teman. Intinya, harus ada pembenahan dalam manajemen untuk suspensi ini, klarifikasi dulu sebelum suspensi sepihak,” imbuh Fahmi.

Mencari Jalan Tengah

Menanggapi tuntutan dan protes yang dilayangkan oleh para mitranya, Gojek lewat Michael Reza Say selaku Vice President Corporate Communication Gojek Indonesia menyatakan ada kesepakatan yang dipenuhi oleh mereka. Di antaranya adalah penurunan skema insentif menjadi 21 trip kembali. “Kami sudah mencapai kesepakatan dengan para mitra, kami turunkan dari 25 menjadi 21 kembali,” ucapnya.

“Kemarin pada saat demo sudah kami bahas, dan pada intinya beberapa poin sudah disampaikan dan akan kami bahas lebih lanjut terkait dengan insentif dan suspensi dalam diskusi lanjutan. Kami terus berdiskusi, kok, sama semua mitra, kami selalu buka saluran komunikasi kami,” tambah Michael.

Diskusi lanjutan antara Gojek dan Organisasi Mitra pasca demo dilakukan pada 20 Agustus lalu. Dalam pertemuan tersebut tercapai kesepakatan untuk meningkatkan kesejahteraan para mitra dengan menaikkan tarif batas bawah. Rencana itu kemudian akan diajukan ke pemerintah sebagai regulator. “Intinya pertemuan kami kondusif, kami sepakat bersinergi dalam setiap permasalahan yang ada di lapangan, serta membawa usulan kenaikan tarif pada pemerintah, Gojek setuju dan akan ikuti apabila ada kajian dan aturannya,” ucap Fahmi.

Menanggapi hal itu, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Darat, Budi Setiyadi secara terpisah menyatakan pihaknya bersedia untuk diajak berdiskusi terkait kenaikan tarif yang hendak diusulkan oleh para sopir taksi online. Dirinya menganggap wajar apabila ada kenaikan tarif mengingat peraturan lama yang mengatur skema tarif sudah berusia dua tahun lamanya.

“Pemerintah akan sangat terbuka untuk mendengar usulan mereka, saya belum tahu skemanya seperti apa, tetapi akan saya coba untuk rapatkan apabila memang memungkinkan kenaikan tarif,” terang Budi.

Terkait dengan kesejahteraan para sopir taksi online, Budi menaruh harapan pada pemain baru aplikasi angkutan daring seperti Maxim dan Bitcar yang mulai beroperasi. Dirinya menyebut dengan banyaknya pemain baru, persaingan akan baik dan pengemudi dapat memilih sendiri mitra mana yang menurut mereka lebih mensejahterakan.

“Yang dua ini (Grab dan Gojek) kan mengenakan 20% komisi kepada para mitranya. Yang saya dengar, dua yang baru ini akan mengenakan kurang dari itu atau bisa juga tidak dikenakan sama sekali,” tutup Budi.

Terciptanya kesetimbangan baru di ranah industri taksi online mungkin akan menyelamatkan nasib para pengemudi taksi online. Namun, semua itu tentu membutuhkan waktu. Dan sebelum waktu itu datang, pengemudi taksi online seperti Marlon harus memutar otak untuk dapat bertahan.

Penulis: Richaldo Hariandja