Tensi politik antara Iran dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas. Iran melancarkan serangan balasan menyusul tewasnya jenderal Iran, Qasem Soleimani, beberapa waktu lalu.
Guncangan politik ini mendongkrak harga komoditas, seperti emas dan minyak mentah. Tak hanya itu, harga Bitcoin pun turut melesat tajam di tengah ketegangan antara Iran dan AS.
Coindesk mencatat bahwa harga Bitcoin saat ini berada di kisaran angka 8.400 dollar AS (Rp 116,9 juta) pada Senin (7/1/2020) pukul 23.30 waktu AS atau pada Rabu (8/1/2020) pagi WIB.
Angka ini melesat tajam dari awal tahun yang berkisar di angka 8.080 dollar AS (Rp 112,5 juta). Bahkan, dalam 40 menit, kenaikan harga Bitcoin tertinggi bisa tembus mencapai 8.438 dollar AS (Rp 117,5 juta).
Itu artinya, harga Bitcoin dapat melonjak hingga sekitar 400 dollar AS (Rp 5,5 juta). Saat berita ini ditulis, harga bitcoin mencapai 8.350 dollar AS (Rp 116,2 juta).
Dirangkum Coindesk, Joshua Green, kepala perdagangan di Digital Asset Capital Management, memastikan bahwa selain Bitcoin, harga emas, dan minyak mentah juga naik tajam, sebagai respons terhadap serangan Iran ke AS.
Hal ini tidak terlalu mengejutkan. Pasalnya, Bitcoin dianggap sebagai safe haven asset, layaknya emas atau minyak mentah.
Artinya, aset ini akan dinilai sangat tinggi apabila terjadi suatu krisis karena menjadi komoditas paling dicari. Hal ini berbeda dengan uang yang investasinya lebih berisiko jika terjadi krisis.
Minyak mentah disebut naik 1.2 persen ke angka 63 dollar AS per barrel (Rp 877.325), sedangkan harga emas naik 2,19 persen ke angkat 1.608/troy ons.
Ketegangan politik ini dimanfaatkan Bitcoin untuk memperkuat posisinya sebagai safe haven asset, setidaknya di segmen cryptocurrency.
Selain Bitcoin, Ethereum juga naik 1,47 persen menjadi 144 dollar AS.
Citra Jelek
Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) menyebut saat ini ada dua stigma negatif yang membuat orang Indonesia masih takut ketika ingin mengimplementasikan bitcoin dan blockchain.
Direktur Eksekutif ABI Muhammad Deivito Dunggio mengatakan, masih banyak masyarakat Indonesia menganggap bitcoin sebagai pendanaan teroris dan pencucian uang. Hal ini menjadi salah satu tantangan untuk mengembangkan catatan transaksi digital di Indonesia.
"Tantangan terbesar adalah stigma dan miskonsepsi yang masih melekat terhadap Bitcoin dan blockchain sendiri. Bitcoin sudah sangat terstigma dengan penggunaan pendanaan terorisme dan pencucian uang," kata Deivito kepada awak media usai acara konferensi pers Empowering Blockchain Summit 2019 di Jakarta.
Padahal, penggunaan teknologi blockchain sebenarnya tidak terbatas pada cryptocurrency saja. Blockchain adalah teknologi yang menawarkan banyak kelebihan untuk implementasi pencatatan digital.
"Semua bentuk transaksi yang butuh pencatatan, pasti bisa menggunakan teknologi blockchain ini. Mulai dari kesehatan, charity, sampai supply chain, semuanya itu butuh pencatatan jadi itu semua sangat cocok digunakan blockchain," ujar Deivito.
Kendati demikian, ABI mengakui bahwa tingkat literasi masyarakat soal blockchain khususnya masih sangat rendah di Indonesia bahkan belum menyentuh angka satu persen.
"Literasi bisa saya bilang sangat rendah, belum satu persen. Hal ini yang menjadi dasar mengapa asosiasi ini berdiri, yaitu untuk meningkatkan literasi," tutur Deivito.
Selain itu, ABI berharap tahun 2020 tingkat perusahaan rintisan berbasis blockchain di Indonesia makin bertambah. Sebab, menurut catatan ABI, sebagian besar startup masih berkecimpung di perdagangan aset kripto.
"(Sebanyak) 70 persen [startup] perdagangan kripto aset. Sisanya adalah perusahaan supply chain, perpajakan, dan manajemen data," pungkas Deivito.