Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengatakan bahwa perang Iran dan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump berpotensi meluas ke wilayah siber yang kemungkinan diikuti negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu.
Ia mengatakan, agar Indonesia tidak terseret dalam serangan siber, masyarakat perlu menghindari pemakaian VPN (virtual private network) dari negara-negara yang sedang berkonflik beserta sekutunya.
"Pernyataan Trump memperkuat perkiraan, saat ini sedang terjadi cyberwarfare antara kedua negara, yang kemungkinan besar diikuti oleh negara-negara lain maupun kelompok-kelompok tertentu," ujar Pratama seperti dikutip Antara.
"Kenapa tidak disarankan menggunakan IP negara berkonflik, hal ini untuk menghindari adanya serangan malware ke IP negara tertentu. Serangan malware massif bisa saja terjadi seperti saat wannacry dan nopetya hadir di pertengahan 2017," tambah Pratama.
Dalam sejarah pertikaian Iran, AS dan Israel, Pratama mengatakan selalu melibatkan saling retas, saling serang sistem, yang paling terkenal adalah serangan stuxnet dari Israel yang menargetkan sistem nuklir Iran.
Menurut Pratama, Texas dilaporkan telah menerima serangan siber lebih dari 10 ribu kali sejak 6 Januari 2020. Website Program Penyimpan Federal (The Federal Depository Library Program) juga diserang dengan mengubah tampilan situs menjadi tampilan bendera Iran, foto pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei dan gambar wajah Donald Trump dengan mulut berdarah karena ditinju oleh Pengawal Revolusi Iran.
Menurut Pratama, secara umum agar masyarakat dunia melihat, serangan dilakukan dengan cara melakukan deface ke website yang dimiliki pemerintah, maupun perusahaan yang merepresentasikan negara tersebut.
"Artinya, ancaman serangan siber tidak hanya harus diwaspadai oleh instansi negara, namun juga perusahaan besar," kata Pratama.
Menurut dia, Iran, punya afiliasi peretas dengan jaringan Palestina, terutama Hamas. Sementara, AS bekerja sama dengan jaringan Israel dan Saudi untuk membendung Iran.
Di saat yang sama, Pratama mengungkapkan, perang juga dipastikan terjadi di media sosial. Dalam hal ini, AS diuntungkan, sebab Facebook, Instagram, Twitter dan Youtube semuanya di bawah AS.
Misalnya, Foreign Surveillance Act mewajibkan raksasa teknologi di AS untuk memberikan 'backdoor' dan privillage untuk lembaga pemerintah seperti FBI, NSA, CIA, DEA, kepolisian dan militer.
"Artinya, konten yang membantu propaganda Iran akan sangat mudah di hapus dan akun-akun mudah di-suspend," ujar Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSRec itu.