Sebelumnya TCash sudah bermain di area pembayaran tagihan (bill payment) yang sifatnya bulanan. Untuk meningkatkan frekuensi penggunaannya, mobile money ini mulai ditawarkan untuk pembayaran pulsa dan transportasi. Tak berhenti di situ, kini TCash menyasar penggunaan yang frekuensinya lebih sering lagi, misalnya untuk membeli makanan sehari-hari di warung.
“Orang itu lebih ingat bawa handphone daripada bawa dompet. Jadi, kenapa tidak kita selesaikan semua (transaksi) di handphone saja” Menunjang kemudahan transaksi tersebut, sejak tahun lalu TCash mulai mengalihkan transaksi sepenuhnya ke perangkat mobile dengan Quick Response Code atau lebih kita kenal sebagai QR Code.
“Orang itu lebih ingat bawa handphone daripada bawa dompet. Jadi, kenapa tidak kita selesaikan semua (transaksi) di handphone saja,” tandas Arman.
Dari sisi penyedia layanan dan merchant, penggunaan QR Code juga berarti mengurangi ketergantungan pada mesin EDC. Roll out-nya juga mudah, hanya dari satu perangkat mobile ke perangkat mobile lainnya. Walhasil adopsi TCash bisa dilakukan di mana saja, termasuk di warung-warung kecil. Hal ini diharapkan dapat mengakselerasi saluran cash in dan cash out dari TCash. Akan tetapi, di situ pula tantangan terbesar TCash.
“(Tantangan itu) Di adopsinya. Bagaimana kami bisa membuat warung-warung, misalnya, mau menerima isi ulang TCash,” jelasnya, karena hal itu berhubungan dengan kenyamanan pelanggan. Apalagi mengingat visi TCash untuk menjangkau masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan.
“Ini salah satu mimpi kami, TCash harus bisa melayani seluruh populasi (masyarakat) Indonesia. Dengan membuat mereka masuk ke platform TCash, mereka bisa menikmati layanan keuangan, baik (layanan) dari TCash maupun (layanan) dari yang bekerjasama dengan TCash,” ujar Arman lagi.
TCash bukan hanya cara pembayaran. Uang elektrik ini bisa dimanfaatkan misalnya untuk mendistribusikan bantuan tunai sosial ke masyarakat dengan lebih mudah dan terkontrol.
Tim Mandiri
Untuk mengakselerasi penggunaan uang elektrik ini, ada dua hal yang dilakukan divisi Teknologi TCash. Pertama adalah melakukan migrasi ke platform yang lebih modern. Dan yang kedua, dan ini yang menarik, TCash membangun tim baru yang lebih andal, lebih besar, dan independen.
Arman mengakui hal ini sebuah hal baru mengingat Telkomsel terbiasa bekerja a la desainer. “Kami innovate, develop, trial test, dan begitu (sistem) jadi besar, kami cari partner. Telkomsel tidak didesain untuk me-maintain,” ungkap pria penyuka aktivitas outdoor ini.
Namun di kancah financial technology (fintech), arena “bermain” TCash, hal itu tak bisa diterapkan. Di dunia fintech yang kebanyakan diisi oleh perusahaan rintisan (startup), kecepatan adalah kunci suksesnya. Menyadari hal itu, TCash pun membesarkan dan membangun tim teknologinya, khususnya yang menangani platform dan aplikasi. Langkah ini mutlak harus dilakukan agar layanannya bisa lebih gegas bergerak dan masuk ke pasar.
Di kantor yang terpisah dari induknya, yaitu Telkomsel, TCash juga menerapkan budaya kerja a la startup. Arman Hazairin mengaku tak canggung untuk memimpin tim yang terdiri dari anak-anak muda, bahkan generasi millennial. Hal ini tak lepas dari pengalamannya di Infomedia, yang harus membawahi 20 ribu karyawan yang usianya rata-rata baru menginjak dua puluhan.
Telkomsel sendiri sangat serius untuk membesarkan TCash. Hal ini tercermin dari target kenaikan pelanggan yang berkisar di angka 300-400% untuk tahun 2018 ini. Namun di tangan “maestro” perubahan seperti Arman Hazairin, jangan kaget jika target tersebut mulus teraih.