Saat terbang dengan pesawat Airbus, Anda perlu tahu jika ada jejak prestasi putra Indonesia bernama Paul Soegianto di sana. Selama sembilan tahun bekerja di pabrik pesawat kebanggaan Eropa tersebut, Paul memiliki kontribusi besar di sisi riset dan desain pesawat Airbus, mulai dari A320, A350, A380, sampai pesawat A400M Military.
Paul juga pernah diberi tanggung jawab di area teknologi informasi, ketika Airbus menerapkan konsep concurrent engineering di lebih dari 10 negara. Salah satu tugasnya adalah mengimplementasikan infrastruktur yang memungkinkan ribuan orang di negara berbeda bisa bekerja sama secara online, sebuah konsep baru di awal 2000-an.
Di tahun 2012, Paul melanjutkan karirnya ke lembaga konsultan global McKinsey & Company. Tugas utamanya adalah mengembalikan performa perusahaan yang telah mengajukan permohonan bangkrut. Tugas sulit ini membuatnya harus bekerja di puluhan negara di lima benua, jauh meninggalkan orang tuanya yang masih tinggal di Jakarta.
Karena alasan keluarga inilah, Paul kemudian memutuskan kembali ke tanah air di tahun 2017. Sempat menjadi COO Smartfren, Paul kini mengemban tugas sebagai Chief Strategy Officer Blue Bird. “Tugas utama saya adalah mendefinisikan strategi perusahaan, lalu menyusun portofolio yang sesuai dengan strategi tersebut,” ungkap pria ramah ini.
Kembangkan Portfolio
Blue Bird sendiri saat ini mencoba mendefinisikan diri sebagai perusahaan mobility as a service. Mengandalkan aset dan pengalaman di bidang transportasi, Blue Bird ingin menjadi pilihan utama saat konsumen membutuhkan sarana transportasi. “Jadi konsumen mau ke mana saja, Blue Bird bisa memberikan service dan tipe transportasi yang berbeda,” tambah paul.
Tantangannya, saat ini bisnis Blue Bird masih sangat bergantung di layanan taksi. Sebagai gambaran, sebagian besar pendapatan Blue Bird berasal dari taksi. Padahal Blue Bird masih memiliki tipe layanan transportasi non-taksi, seperti bus dan mobil sewaan. Karena itu, Paul melihat penting bagi Blue Bird untuk mengembangkan portofolio bisnisnya ke arah non-taksi.
Salah satu yang coba dirintis saat ini adalah sebagai perusahaan logistik. “Sejak Maret kemarin, Blue Bird merintis bisnis baru di segmen retail dan korporat,” ungkap Paul. Menggunakan armada taksi yang ada, Blue Bird kini menyediakan layanan layanan logistik Birdkirim (untuk retail) dan Corporate Logistic Service (untuk korporat).
Meski masih baru, bisnis logistik ini terbilang menjanjikan. “Saat ini, bisnis logistik telah menyumbang 1% dari total pendapatan,” ungkap Paul.
Salah satu mitra Blue Bird adalah sebuah e-commerce untuk sayur dan buah segar. Perusahaan e-commerce ini memilih layanan logistik Blue Bird demi menjaga kebersihan dan kesegaran produk saat proses pengiriman. “Karena taksi kami kan ber-AC, jadi lebih bersih dibanding menggunakan moda pengantaran motor,” ungkap Paul.
Secara nasional, salah satu jaringan supermarket juga sudah menggunakan layanan Blue Bird untuk pengiriman belanjaan pelanggannya. Beberapa perusahaan luxury goods kini juga mengandalkan taksi Blue Bird untuk mengantarkan produknya ke konsumen. “Jadi staf toko secara khusus membawa barang ke konsumen menggunakan taksi Blue Bird,” tambah Paul.
Untuk mendukung sistem logistik ini, Paul dan tim mempersiapkan sistem selama empat bulan. Untuk melakukan pemesanan, mitra bisnis cukup memesan menggunakan layanan berbasis web. Pesanan ini terhubung langsung ke sistem dispatch Blue Bird, yang kemudian menginstruksikan armada taksi untuk mengambil barang.
Yang menarik, satu armada taksi bisa melakukan penghantaran beberapa barang sekaligus (multi drop). Di sistem tersebut juga ada teknologi Artificial Intelligence (AI) yang akan mengkalkulasi rute paling efisien. “Karena sehari itu paling sedikit ada 300 titik antar, dan melibatkan 15-20 taksi. Jadi AI ini mengatur rute yang paling efisien,” cerita Paul.
Membangun Platform
“Ke depan, layanan taksi itu bukan soal harga, namun lebih ke availability dan service yang diberikan,” Paul Soegianto (Chief Transformation Officer Blue Bird)
Meski mencoba memperluas jenis layanan, layanan taksi tetap menjadi bisnis utama Blue Bird. Karena itu, inovasi pun terus dilakukan Paul dan tim untuk meningkatkan pelayanan taksi ini.
Salah satunya adalah menggunakan tablet sebagai perangkat all-in-one bagi pengemudi, termasuk menggantikan seluruh sistem di dalam taksi Blue Bird. “Jadi tidak ada lagi sistem dispatcher dan argo, semua diganti dengan tablet ini,” ungkap Paul. Implementasi telah dilakukan sejak akhir 2019, Dalam kini semua armada taksi Blue Bird telah menggunakan sistem baru ini.
Meski ada investasi yang harus dikeluarkan, Paul melihat sistem ini menghasilkan dampak bisnis yang signifikan. Contohnya adalah turunnya persentase drop call operator ke pengemudi. “Dulu kami bisa kehilangan koneksi 36%, saat ini kurang dari 4%,” cerita Paul. Peningkatan juga didapat dari sisi akurasi posisi taksi. Jika dulu tingkat kesalahan mencapai 10-15%, saat ini kurang dari 5%.
Implementasi tablet ini juga membuka potensi baru bagi bisnis Blue Bird ke depan. Contohnya dari sisi data, yang terkumpul dari ribuan armada taksi Blue Bird yang menjelajah kota-kota di Indonesia setiap harinya. Yang kini sedang dipersiapkan adalah Blue Bird Pintar, yang berfungsi menyelaraskan demand dan supply dari taksi Blue Bird. “Karena ke depan, layanan taksi itu bukan soal harga, namun lebih ke availability dan service yang diberikan,” kata Paul.
Berbekal data tersebut, Paul yakin Blue Bird akan memiliki pondasi bisnis yang kuat. "Karena yang kita buat saat ini adalah membangun platform untuk mengembangkan bisnis yang lain" tambah Paul.
Mau Bergerak
Menggerakkan transformasi digital di perusahaan sebesar Blue Bird memang tidak mudah. Namun Paul mengaku beruntung karena seluruh pimpinan Blue Bird memiliki satu visi untuk melakukan perubahan. Kemauan untuk berubah ini juga menjalar ke seluruh karyawan Blue Bird, yang bersemangat menyambut perubahan. “Bayangkan tim dispatcher Blue Bird yang sudah bekerja 15 tahun menggunakan sistem yang sama, lalu dalam tiga bulan harus menguasai sistem yang benar-benar baru,” cerita Paul.
Paul mengakui, transformasi yang dilakukan Blue Bird baru dalam tahap awal. Namun setidaknya, hasilnya sudah mulai terlihat. Pemesanan taksi Blue Bird kini bisa menggunakan Whatsapp, pembayaran pun bisa menggunakan QRIS dan uang digital. Harapan besar dari semua perubahan itu tentu saja, nasib 40 ribu pengemudi Blue Bird berikut keluarganya, bisa lebih terangkat.
Alasan ini pula yang membuat Paul enggan menanggapi berbagai sodoran pekerjaan yang sebenarnya lebih menggiurkan. Ia lebih tertarik membantu Blue Bird, perusahaan yang diguncang disrupsi namun tetap mengedepankan nilai give to community.
“Di Blue Bird ini, saya melihat ada value yang layak diperjuangkan,” tambah Paul.
***
Ingin tahu lebih banyak transformasi digital yang dilakukan Blue Bird? Ikuti webinar Leap Ahead yang akan membahas peran cloud computing dalam mendorong transformasi digital. Selain Paul Soegianto, pembicara lain adalah Bhimo Wikan Hantoro (Pegadaian), Aditya Halim (IBM Indonesia), dan Andi Sama (Sinergi Wahana Gemilang).
Untuk pendaftaran, klik di sini. Tempat terbatas.