Find Us On Social Media :

Menyelaraskan Gerakan Menuju Smart City dengan Kearifan Lokal Wae Rebo

By Wisnu Nugroho, Minggu, 3 Oktober 2021 | 11:36 WIB

Keindahan Wae Rebo, negeri di atas awan

Rumah-rumah tradisional beratap kerucut tampak mengelilingi sebuah lapangan rumput di atas bukit. Gumpalan awan tipis berlalu lalang di puncak-puncak bukit yang mengelilinginya, membuat panorama di pemukiman ini tampak semakin menakjubkan. Itulah Wae Rebo, kampung adat berjuluk ‘negeri di atas awan’ yang berada di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. 

Wae Rebo tentu bukan tempat yang asing lagi bagi para traveler pecinta alam. Desa ini memiliki keunikan budaya yang tak ada duanya di dunia. Tak heran jika Wae Rebo telah meraih berbagai pengakuan dunia, salah satunya adalah UNESCO Asia Pacific Award Heritage Conservation di tahun 2012, yang merupakan penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya.

Menjaga warisan budayaKearifan lokal dan tradisi yang ada di Wae Rebo memang sudah selayaknya kita jaga agar tetap lestari, tanpa melupakan kebutuhan warganya akan akses informasi. Ini pula yang menjadi salah satu tujuan dari Gerakan Menuju 100 Smart City, yakni menjadikan Wae Rebo sebagai salah satu destinasi wisata unggulan yang meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal.

Kasius, salah satu pemuda Wae Rebo, berharap desa tempatnya dilahirkan bisa lebih berdaya, baik dalam hal pendidikan dan ekonomi. Namun semua kemajuan tersebut tetap selaras dengan usaha masyarakat setempat untuk menjaga warisan leluhur.

“Tentu kami senang menerima orang datang ke desa kami, bisa tukar pikiran. Yah, seperti sekolah otodidak-lah,” tuturnya. “ Tapi pariwisata itu harus dijaga supaya tidak tumbang dan tidak bikin tumbang kita semua,” lanjutnya. Menurut pria kelahiran 1992 itu, salah satu kunci menjaga warisan budaya ini adalah dengan melakukan pembatasan pengunjung.

Arsitektur unik

Ciri khas Wae Rebo yang unik adalah Mbaru Niang atau rumah adat tradisionalnya. Mbaru Niang merupakan rumah berlantai lima dengan struktur lantai panggung serta atap mengerucut yang terbuat dari ijuk. Lantai pertama difungsikan sebagai tempat tinggal, sementara tiga lantai di atasnya berfungsi sebagai lumbung. Sedangkan lantai teratas yang disebut lempa rae dipakai untuk sesaji nenek moyang.

Menurut Kasius, satu rumah tradisional Wae Rebo mampu menampung 20-30 orang. Namun di musim-musim liburan seperti akhir tahun, kampung adat ini bisa kebanjiran turis hingga ratusan orang. Mengingat kapasitas dan daya dukung Mbaru Niang, Kasius khawatir jika berlangsung lama, pariwisata di sini tidak akan berkelanjutan.

“Kalau ada sinyal [komunikasi] kita bisa batasi pengunjung, kan? Kalau tidak ada, ya, kami hanya bisa terima saja,” kisahnya dengan nada penuh harap. 

Filosofi bangunannya

Selain memiliki keunikan arsitektur, Mbaru Niang juga menyimpan filosofi yang merepresentasikan smart living dalam perspektif lokal. Di dalam Mbaru Niang, ada lima tiang utama yang melambangkan lima sila kearifan lokal Wae Rebo, yang dalam Bahasa setempat disebut sebagai lampek lima. Kelima filosofi hidup ini menjadi panduan bagi warga Wae Rebo untuk hidup selaras dengan alam dan sesamanya.  

“Lima sila ini isinya yang pertama, sebagai seseorang yang tinggal di dunia, kita wajib memiliki rumah atau tempat tinggal,” jelas Kasius lagi. “Kedua, kalau mendirikan rumah harus ada halaman untuk kita bersosialisasi dengan tetangga. Halaman ini tempat kita sharing ilmu pengetahuan juga,” sambungnya.

Kasius melanjutkan, sila ketiga adalah bahwa Orang Wae Rebo harus punya pekerjaan. Baik itu menggarap kebun, sawah, ladang, maupun pekerjaan lain yang menghasilkan nafkah yang baik dan tidak merusak alam. Sila keempat, mengingatkan manusia bahwa kita memerlukan air untuk hidup, sehingga penting pula bagi kita untuk merawat sumber-sumber air.

“Sila kelima itu intinya mengingatkan kita bahwa Ketika ada perseteruan ada baiknya kita bermusyawarah,” jelasnya lagi. Ia lantas menunjuk kumpulan batu di luar niang yang ditata melingkar. Katanya, “Kita selalu menengok ke sana setiap ada perkara. Kenapa kita tidak melingkar seperti itu, satukan keinginan dengan musyawarah?”

Desa di atas awan

Wae Rebo merupakan bagian dari Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perlu waktu 2-3 jam mendaki menuju Wae Rebo, dari pos awal pendakian di Desa Satar Lenda. Anda perlu menyewa tongkat kayu di pos awal ini, agar lebih mudah melangkah di jalur pendakiannya yang licin. Jalan setapak yang sedang dikerjakan belum sepenuhnya rampung, sehingga pengunjung masih harus berhati-hati melintasinya.

Kasius, warga lokal Wae Rebo yang berkomtimen menjaga budaya luhur nenek moyangnya

Meski medan pendakiannya terbilang menantang, Anda tak akan bosan menjalani petualangan menuju Wae Rebo. Sepanjang perjalanan, Anda akan disuguhi panorama yang memanja mata: hijaunya vegetasi hutan, lekuk perbukitan yang cantik, serta sungai-sungai kecil yang airnya begitu sejuk dan bening. Ada pula bunyi-bunyian hutan yang menenangkan jiwa: gemerisik dedaunan dan ranting saat angin bertiup, bunyi aliran air sungai, dan kicauan burung yang syahdu. 

Sesampainya di Wae Rebo, keindahan panorama serta keramahan penduduknya pun akan memulihkan tenaga kita kembali. Kondisinya yang terisolasi itu sejauh ini memang membuat keaslian serta keunikan budayanya terjaga. Namun di saat yang sama, kondisi itu pula yang membuat akses komunikasi dan internet sulit masuk ke sana. 

Semoga saja, program Gerakan Menuju Smart City ini nantinya akan membantu Wae Rebo menjaga warisan budaya Indonesia untuk dunia yang satu ini. (Penulis: Mardyana Ulva)