Find Us On Social Media :

Belajar Implementasi BI-FAST dari BRI

By Wisnu Nugroho, Selasa, 15 Maret 2022 | 09:42 WIB

Muhammad Randy Desmond Ibrahim (Department Head of Omni Channel Application Development BRI)

Pilihan Lain Implementasi

Sebenarnya, Bank Indonesia saat ini sedang mengembangkan alternatif lain dari implementasi BI-FAST, yang disebut IPT (Interface Pembayaran Terintegrasi). IPT ini berbasis teknologi teknologi API (Application Programming Interface), sehingga tidak memerlukan CI-Connector lagi. Pemanfaatan teknologi API ini menawarkan keunggulan dari sisi biaya. “Cost akan turun signifikan karena tidak ada upfront investment,” ungkap Desmond. 

Desmond sendiri menyebut, BRI masih mempertimbangkan apakah akan mengadopsi IPT jika sudah tersedia. Di satu sisi, BRI saat ini sudah berhasil mengimplementasikan BI-FAST versi CI-Connector. Namun di sisi lain, penggunaan CI-Connector dikhawatirkan akan meningkatkan kompleksitas pengelolaan di jangka panjang. “Karena kami harus mempertimbangkan proses maintenance, upgrade version dan troubleshooting CI-Connector tersebut,” ungkap Desmond. 

Tantangan semakin besar mengingat CI-Connector adalah aplikasi Bank Indonesia yang “isi” alias source code-nya tidak bisa dilihat tim BRI. Walhasil, performa CI-Connector sepenuhnya bergantung pada tim teknis yg dikelola oleh Bank Indonesia.

Saran Implementasi BI-FAST

Berdasarkan pengalaman BRI, Desmond pun memberikan beberapa saran bagi bank atau institusi finansial yang ingin mengadopsi BI-FAST. Dari sisi teknis, Desmond menyarankan desain aplikasi middleware yang fleksibel sesuai bank tujuan. 

Saran ini didasarkan pengalaman awal implementasi BI-FAST, ketika success rate transaksi berbeda-beda tergantung bank tujuan. Ada bank tujuan yang transaksinya lancar, ada bank tujuan yang transaksinya sering gagal. “Padahal versi CI-Connector yang digunakan sama,” ungkap Desmond. 

Untuk mencegah hal itu, desain aplikasi yang fleksibel bisa menjadi solusi. “Jika success rate transaksi ke sebuah bank belum bagus, dialihkan dulu transaksi online,” tambah Desmond. Dengan begitu, SLA tetap terjaga dan komplain nasabah bisa diminimalisir.

Sedangkan dari sisi bisnis, Desmond menyarankan untuk menghitung betul cost per transaction saat ingin implementasi BI-FAST. Seperti disebut di atas, bank harus mengeluarkan biaya investasi untuk hardware dan database yang digunakan BI-FAST. Bagi bank yang memiliki jumlah nasabah dan transaksi besar seperti BRI, investasi yang dikeluarkan relatif masih menguntungkan. Namun bagi bank dengan jumlah transaksi yang rendah, investasi yang dikeluarkan bisa jadi tidak sepadan.

Untuk masalah ini, ada beberapa cara yang bisa dilakukan bank. Yang pertama adalah membangun infrastruktur bersama, sehingga biaya investasi bisa dibagi. 

Cara kedua adalah memanfaatkan teknologi API bank yang sudah implementasi BI-FAST, termasuk yang disediakan BRI. Jadi bank yang belum memiliki BI-FAST menghubungkan sistemnya ke API BRI untuk BI-FAST. Konsepnya mirip seperti ATM bersama, ketika nasabah bisa menggunakan ATM bank lain untuk mengambil uang. Pendekatan ini memang memunculkan biaya tersendiri, namun bisa jadi biayanya lebih rendah dibanding membangun infrastruktur BI-FAST sendiri. 

Cara ketiga adalah menunggu IPT yang sedang dikembangkan Bank Indonesia. Karena IPT berbasis teknologi API, biaya investasi yang harus dikeluarkan seharusnya lebih terjangkau.

Sedangkan untuk regulator, Desmond juga berharap adanya lembaga intermediary yang menangani dispute antar bank. Saat ini, jika ada insiden yang terjadi di platform BI-FAST, penyelesaiannya dilakukan secara bilateral antar bank. “Kalau ada intermediary ini, kita tinggal lapor ke satu pihak saja,” tambah Desmond.

Ingin mengetahui lebih banyak terkait implementasi BI-FAST, termasuk peluang dan tantangan ke depan? Ikuti webinar InfoKomputer Tech Gathering dengan tema Peran BI-FAST dalam mewujudkan open banking. Webinar ini akan diadakan pada Kamis, 24 Maret 2022 pukul 10.00-12.00 WIB. Pendaftaran di sini, tempat terbatas.