Randy Nixon (Direktur Divisi Sumber Terbuka CIA) mengatakan perangkat AI itu akan memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh penyidik, dan nantinya akan digunakan di 18 lembaga komunitas intelijen Amerika Serikat, termasuk yang dioperasikan oleh cabang militer.
"Para penyidik CIA ini akan menggunakan alat AI ini untuk mendapatkan akses ke sumber informasi intelijen terbuka dan mendukung upaya investigasi," katanya seperti dilansir Business Insider.
Nixon mengatakan saat ini kehidupan manusia telah mengalami evolusi dari sumber informasi yang berbeda, mulai dari surat kabar dan radio, hingga surat kabar dan televisi, kemudian surat kabar dan televisi kabel, hingga internet dasar, dan sekarang era data besar.
"Kami membutuhkan solusi yang dapat membantu kami mengatur jumlah data yang sangat besar," ujarnya.
Nand Mulchandani (CTO CIA) menyarankan pengguna memperlakukan AI sebagai mitra dalam berbicara, meskipun tetap waspada dalam memberikan informasi sensitif kepada alat tersebut.
"Program AI dapat memberikan jawaban yang berharga, penggunaannya harus diawasi dengan cermat. Teknologi ini sangat kuat dalam mengelola data besar dan melakukan analisis pola data," ujarnya.
Peringatan FBI
Ilustrasi AI (Artificial Intelligence).
Saat ini teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan makin memudahkan hidup warga Amerika Serikat (AS).
Namun dibalik kemudahan yang ditawarkan, AI juga digunakan oleh tangan tangan jahat untuk melancarkan aksi kejamnya.
Direktur Biro Penyelidik Federal (Federal Bureau of Investigation/FBI) Christopher Wray mengungkapkan banyak penjahat dan musuh negara yang menyalahgunakan teknologi AI untuk menyerang warga dan kepentingan AS.
“Penjahat dan pemerintah asing yang bermusuhan sudah mengeksploitasi teknologi AI. Teknologi AI juga dapat memudahkan para pelaku kejahatan untuk menghasilkan deepfake (manipulasi penampilan wajah) dan kode-kode berbahaya serta membuatkan virus komputer," katanya.