DDos Attack dilakukan dengan membanjiri server menggunakan paket data berkapasitas besar. Gempuran ini dilakukan bertubi-tubi sehingga sistem tidak dapat menampung data dan akhirnya rusak. Kalau sudah begitu, situs atau aplikasi yang diserang dengan DDos bakal sulit diakses pengguna lain.
Ke-dua adalah serangan siber berupa perubahan tampilan situs yang menayangkan hasil penghitungan suara. Jenis serangan itu ingin menunjukkan seakan-akan peretas mampu mengakses sistem penghitungan suara penyelenggara pemilu.
Ke-tiga adalah serangan phising atau metode mengelabui target untuk mengklik dokumen atau file yang disusupi malware atau ransomware.
Lumrah bagi peretas untuk mengirimkan tautan-tautan berisi malware dan ransomware. Metode phising belakangan juga jadi modus baru dalam kasus paket online.
Serangan siber lainnya dengan merusak jalur komunikasi yang digunakan mentransfer hasil penghitungan suara. Hal ini terjadi pada Pilpres Kenya pada 2017 lalu.
Ke-lima, serangan berupa perusakan integritas pada daftar pemilih online. Jenis serangan ini telah masuk ke internal sistem. Hal ini biasanya terjadi karena lemahnya sistem teknologi keamanan situs dari serangan siber.
Serangan tersebut dilakukan oleh peretas dengan sumber daya yang besar dan dilakukan secara terus-menerus. Serangan juga telah direncanakan dan melalui beberapa fase.
Ke-enam adalah pembocoran data pemilih. Pembocoran data pemilih dilakukan setelah peretas memiliki data pemilih.
Sementara jenis serangan ke-tujuh, adalah kampanye disinformasi yang menargetkan integritas penyelenggara pemilu dari proses pemilihan. Hal ini terjadi pada Pilpres 2019 di Indonesia.
Baca Juga: Takut Militer China Kuat, AS Hentikan Pasokan GPU AI Nvidia
Baca Juga: Perkuat Ekosistem AI, Xiaomi Kenalkan Antarmuka HyperOS Gantikan MIUI