Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga telah membuat pedoman perilaku bagi seluruh anggotanya yang mengatur tentang total biaya pinjaman, biaya keterlambatan, dan biaya yang ditanggung peminjam. Pedoman perilaku ini juga mengatur tata cara penagihan, termasuk menggunakan agen penagihan yang telah mengantongi sertifikasi dari AFPI. "Pedoman perilaku tersebut harus dipatuhi oleh anggota AFPI. Bila dilanggar, ada sanksi hingga pemberhentian sebagai anggota asosiasi," tutur Sekar.
Mengenai keberadaan P2P lending yang tidak mengantongi izin OJK, Sekar menyebut ada Satgas Waspada Investasi (SWI) yang merupakan forum koordinasi 13 lembaga dan kementerian (termasuk OJK). Melalui SWI ini, OJK mengajukan rekomendasi tindak lanjut atas layanan pinjaman online ilegal kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika. Hasilnya, sejak awal tahun 2018, ada lebih dari 400 pinjaman online ilegal yang telah ditutup.
Meski usaha preventif terus dilakukan, pihak OJK dan LBH belum satu suara dalam mencari solusi pinjaman online ini. Di satu sisi, pihak OJK mengeluh LBH tidak jua menyerahkan daftar penyelenggara pinjaman online yang dituduh melanggar aturan. Sementara di sisi lain, pihak LBH bersikeras hanya akan memberikan data secara bertahap. “Jadi bukan berarti kami tidak mau menyerahkan datanya” ungkap Jeanny.
Pendek kata, belum ada solusi komprehensif untuk mencegah jatuhnya korban akibat penyelenggaraan pinjaman online. Jika terus begini, kisah pilu korba pinjaman online bisa jadi akan terus berulang.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR