Meski sempat mengalami pelemahan rupiah, pasaran smartphone Indonesia justru sedang tinggi-tingginya tahun lalu. Setidaknya begitulah menurut firma riset pasar Canalys.
Sepanjang 2018, Canalys mencatat pertumbuhan pengapalan smartphone di Indonesia mencapai dua digit, yakni sebesar 17,1 persen dibanding tahun 2017.
"Pasar smartphone di Indonesia berada di puncaknya (pada 2018)," ujar Research Manager Canalys Rushabh Doshi dalam sebuah laporan terkait.
Jumlah smartphone yang dikapalkan di tanah air selama tahun 2018 mencapai 38 juta. Sementara pada kuartal IV-2018, jumlah pengiriman smartphone tercatat sebanyak 9,5 juta unit, naik 8,6 persen secara year-on-year (YoY).
Pertumbuhan ini menunjukan bahwa pasar smartphone Indonesia telah kembali bergeliat setelah mengalami titik terendahnya tahun 2016 lalu dengan pertumbuhan tahunan -3,3 persen.
Sementara tahun 2017, pertumbuhan tahunannya hanya 0,6 persen. Salah satu faktor lesunya pasar smartphone di Indonesia kala itu ditenggarai karena regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang diberlakukan pemerintah.
Ponsel 4G yang dipasarkan mulai 1 Januari 2017 diharuskan memiliki tingkat TKDN 30 persen yang bisa dipenuhi lewat jalur hardware, software, atau komitmen investasi.
Pada 2018, pertumbuhan smartphone disebut konsisten meski nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika sempat melemah. Merosotnya rupiah berdampak pada sektor impor komponen smartphone ke dalam negeri.
Depresiasi mata uang domestik terhadap dollar sejatinya tak hanya terjadi di Indonesia. Namun, menurut Canalys, ekonomi Indonesia terbilang cukup kuat dibanding negara lain, sehingga pertumbuhan smartphone tetap melaju.
Menurut Doshi, penjualan secara online melalui beberapa e-commerce turut mendongkrak pertumbuhan pasar smartphone di Indonesia.
Masuknya beberapa vendor baru, termasuk sub-brand semacam Realme atau Honor, disebut muncul di momen yang tepat. Sebab, banyak konsumen Indonesia sedang butuh mengganti ponsel lawasnya.
Pemain lokal tersingkir Tumbuhnya penetrasi smartphone di Indonesia menciptakan kompetisi sengit di antara vendor smartphone.
Canalys mencatat lima besar vendor smartphone di tanah air mendominasi 80 persen dari total pangsa pasar, dibanding 65 persen dari tahun lalu.
"Ekonomi berbasis aplikasi yang kian besar menegaskan pentingnya smartphone sehinga akan menarik investasi besar dari mulai vendor software atau perangkat, mendorong perusahaan lain untuk ikut bergabung," jelas Doshi.
Samsung masih memuncaki klasemen pabrikan smartphone terbesar dengan market share 25,4 persen dan pertumbuhan 21,5 persen secara YoY. Salah satu poin yang menarik adalah pertumbuhan pesat dari dua vendor smartphone asal China yakni Xiaomi dan Vivo.
Xiaomi, yang menempati urutan kedua, mengalami pertumbuhan pangsa pasar 20,5 persen dengan pertumbuhan YoY 139,4 persen.
Sementara Vivo yang masih berada di posisi keempat, meraih market share 15,9 persen dengan pertumbuhan 132 persen YoY.
Di tengah-tengah kedua vendor terselip Oppo di posisi ketiga dengan pangsa pasar 19,5 persen dan pertumbuhan YoY sebesar 0,8 persen.
Oppo tampak tertekan oleh Xiaomi di Indonesia dan mengalami pertumbuhan yang lamban dari kuartal ke kuartal sejak Q3 2017. Realme yang menjadi sub-brand Oppo tidak dimasukkan dalam total penjualan Oppo.
Canalys memberikan catatan merah bagaimana produk lokal susah payah bersaing dengan pabrikan asing.
Satu-satunya pabrikan Indonesia yang masuk jajaran 5 besar adalah Advan dengan market share 4,1 persen. Tapi pemain lokal ini kian tersingkir dengan pengapalan yang turun sebesar 25 persen.
"Saat pasar tumbuh, vendor lokal dan vendor kecil tertatih-tatih ketika mereka mencoba menaikan ongkos marketing serta riset dan pengembangan (R&D), sementara harga pasar makin kompetitif," jelas Doshi dalam laporan Canalys.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR