Kehadiran AI dan Intelligence Automation mengharuskan setidaknya 120 juta pekerja di 12 perekonomian terbesar di dunia dilatih ulang atau ditingkatkan kecakapannya dalam waktu tiga tahun ke depan. Fakta tersebut terungkap dalam laporan IBM Institute for Business Value IBM (IBV) yang berjudul “The Enterprise Guide to Closing the Skills Gap”.
Kehadiran Artificial Intelligence dan robot-robot pintar sempat memantik kekhawatiran bahwa di masa depan pekerjaan manusia akan diambil alih oleh mesin-mesin pintar. Namun ketakutan itu dianggap tidak beralasan karena kehadiran kecerdasan buatan justru akan membuka berbagai lapangan kerja baru. Dan di sisi lain, kualitas keterampilan SDM akan meningkat.
Namun tren yang terlihat saat ini adalah celah keterampilan (skills gap) para pekerja terus melebar saat Artificial Intelligence dan automation diterapkan di banyak industri. Bahkan perusahaan-perusahaan yang tergolong sangat inovatif pun kewalahan menutup celah itu dengan merekrut orang baru. Sementara melatih pekerja yang sudah ada juga akan menjadi tantangan besar.
Berdasarkan beberapa survei IBV terhadap ribuan eksekutif dari seluruh dunia dan berbagai industri, terungkap bahwa 45% dari organisasi sulit memperoleh talenta dengan keterampilan yang dibutuhkan. Bahkan angkanya meningkat menjadi 67% di lingkungan organisasi atau perusahaan yang berskala lebih besar.
“Kesenjangan skill menjadi kekhawatiran di banyak perusahaan karena berdampak pada masa depan bisnis dan ekonomi dunia yang perlu diperhatikan khususnya dalam era transformasi digital ini,” ujar Tan Wijaya, Presiden Direktur IBM Indonesia. Menurut Tan Wijaya, banyak dari eksekutif perusahaan memahami masalah ini dan setengah dari mereka menyadari tidak memiliki strategi dalam mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan.
Namun Tan Wijaya menambahkan,“Strategi baru telah ada untuk membantu perusahaan melatih kembali sumber daya manusianya dan membangun budaya untuk terus belajar dan sukses di era AI.”
Dengan bermunculannya teknologi-teknologi baru, jenis-jenis keterampilan yang dibutuhkan perusahaan pun berubah. Masih menurut laporan IBM IBV, pada tahun 2016, para eksekutif menempatkan kemampuan Teknik pada STEM dan pengoperasiaan komputer serta software/aplikasi dasar sebagai dua kemampuan penting bagi setiap karyawan. Namun pada tahun 2018, dua kemampuan yang diprioritaskan adalah kemampuan bersikap (fleksibel, agile, mudah beradaptasi dengan perubahan serta kemampuan manajemen) dan kemampuan menentukan prioritas.
Menurut IBM IBV, waktu yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan kemampuan melalui pelatihan meningkat lebih dari 10 kali dalam empat tahun terakhir. Di tahun 2014, dibutuhkan tiga hari untuk melatih kemampuan melalui pelatihan di perusahaan dan pada tahun 2018 pelatihan yang sama membutuhkan 36 hari.
Yang menarik, untuk menutup--atau setidaknya mempersempit--celah keterampilan itu, IBM IBV menyarankan penggunaan data dan kecerdasan buatan (AI). Inilah tiga saran IBV bagi perusahaan:
1. Membangun budaya belajar terus menerus dan memberi berbagai kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh. AI dapat membantu mengidentifikasi dan memupuk jalur karier yang spesifik untuk karyawan.
2. Bersikap transparan dengan menggunakan AI untuk memperoleh data yang rinci tentang skill set yang ada saat ini. Antisipasi kebutuhan keterampilan di masa depan dan bagikan insight tersebut kepada karyawan sehingga mereka dapat mengarahkan diri dan keterampilannya dengan tepat.
3. Melihat ke dalam maupun keluar. Perusahaan disarankan membangun tim-tim agile yang memiliki berbagai skill set sehingga memungkinkan experential learning dengan kelompok-kelompok lainnya. Bergabunglah dengan ekosistem mitra perusahaan yang dapat menyediakan akses ke content-content baru. Gunakan AI untuk menentukan aset-aset edukasi yang paling relevan dengan kebutuhan perusahaan.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR