Kasus penyelundupan dan perdagangan hewan langka ilegal masih sulit diberantas di Indonesia.
Untungnya, ada perangkat lunak Pangolin yang berbasis teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk membasmi perdagangan satwa liar di Indonesia.
Pangolin merupakan karya buatan anak muda Indonesia yang purwarupanya berhasil memenangkan kontes teknologi Zoohackathon 2019 di Kota Kinabalu, Malaysia, Kamis (7/11).
Secara sederhana, Pangolin dapat mengekstrak informasi kunci dari artikel berita untuk membantu mengidentifikasi jalur dan pola kejahatan perdagangan satwa ilegal.
Salah satu kreator Pangolin, Lintang Sutawika mengaku sejauh ini para analis banyak membuang waktu untuk menelusuri pemberitaan di banyak artikel media dari berbagai media massa karena dilakukan secara manual.
"Umumnya dalam satu kasus, analis itu harus mengumpulkan berpuluh-puluh artikel dan itu bisa memakan waktu yang lama, menghabiskan waktu yang cukup besar untuk mengumpulkan data bukan melakukan analisanya," kata Lintang seperti dilaporkan Antara.
Pemborosan waktu itulah yang berusaha dihilangkan oleh perangkat lunak Pangolin, dengan menggunakan AI untuk membaca suatu artikel dan mengidentifikasi kata kunci penting yang berada di artikel dan menyimpannya.
Informasi-informasi penting seperti itulah yang kemudian bisa digunakan para analis untuk mengidentifikasi pola-pola jalur perdagangan, jenis kejahatan, jenis hewan yang diperdagangkan dan bahkan nama-nama pelaku, jika tertulis di dalam artikel yang ada.
Pangolin bekerja dimulai dengan sistem yang melakukan data scrapping atau pengikisan data di mana program komputer mengekstrak data dari situs berita.
Ekstrak itu kemudian disimpan di basis data yang kemudian akan diakses oleh algoritma machine learning atau AI yang selanjutnya akan mengambil berita, dan mengembalikan informasi yang diekstrak.
Dalam percobaan yang sudah dilakukan dengan prototipe Pangolin di Kota Kinabalu, perangkat lunak itu mampu memproses sekitar 100 artikel dalam satu jam, jauh lebih cepat dibandingkan dengan jika dilakukan manual oleh analis.
Algroritma itu kemudian akan menyimpan berbagai informasi yang berada di artikel tersebut, seperti nama satwa, jenis, dan tipe kejahatan yang dilakukan.
Hasil tersebut akan ditampilkan melalui interface hasil-hasil ekstrasi data tersebut. Pengguna aplikasi itu dapat memverifikasi data tersebut, kemudian menggunakannya untuk melakukan analisa.
Jika data yang ditemukan algoritma AI itu salah, pengguna dapat memperbaikinya agar mesin tersebut dapat belajar dan meningkatkan akurasinya.
Untuk tingkat ketepatan akurasi dari algoritma AI tersebut, Lintang masih belum bisa memberikan angka yang pasti karena baru diuji coba dalam set data yang sempit ketika penjurian lomba.
"Masalah akurasinya sendiri kita masih belum bisa menyimpulkan, tapi algoritmanya sendiri sudah cukup bisa menyimpulkan dan membedakan informasi-informasi penting seperti jenis kejahatan dan satwa liarnya apa," tegasnya.
Lebih lanjut, Lintang tidak mengesampingkan kemungkinan untuk mengembangkan perangkat lunak itu menjadi sesuatu yang bisa dipakai oleh berbagai kalangan, seperti otoritas atau analis lembaga swadaya masyarakat yang berjuang untuk memberantas perdagangan satwa langka dan yang dilindungi.
Data-data yang dikumpulkan Pangolin dapat digunakan untuk meriset jalur perdagangan illegal, volumenya atau juga jenis-jenis satwa liar apa yang paling rentan diperdagangangkan.
Dari situ, ujar Lintang, analis dapat mengembangkan pola dan kesimpulan berbagai macam data yang sudah dikumpulkan oleh Pangolin.
Namun, untuk membuat prototipe tersebut menjadi produk yang siap digunakan untuk khalayak masih memerlukan waktu yang panjang dan dana yang tidak sedikit.
Selain melibatkan pakar AI seperti Lintang dan timnya, juga membutuhkan tenaga profesional lain hingga siap digunakan oleh pengguna umum.
"Software yang kita tawarkan kalau misalnya untuk production level berarti harus tidak hanya melibatkan AI engineer tapi juga software engineer, security management, dan sebagainya, sehingga saya sekarang sedang melihat kesempatan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait," ujar Lintang.
Ia kemudian berharap ada pihak yang tertarik untuk mengembangkan perangkat lunak tersebut menjadi proyek yang serius.
Terancam Punah
Perdagangan ilegal untuk flora dan fauna langka serta terancam punah, kini sudah menjadi ancaman serius dengan diperkirakan 1.000.000 spesies hewan dan tumbuhan dan hewan semakin terancam punah dalam beberapa dekade.
Hal itu berdasarkan laporan terbaru dari Platform Sains-Kebijakan Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES).
Menurut data yang dikeluarkan IPBES pada Mei 2019, jumlah rata-rata spesies asli di sebagian besar habitat berbasis daratan telah berkurang setidaknya 20 persen.
Lebih dari 40 persen amfibi, 33 persen karang pembentuk terumbu, dan sepertiga mamalia laut juga terancam.
Setidaknya 680 spesies vertebrata telah punah sejak abad ke-16 dan lebih dari sembilan persen dari mamalia jinak yang digunakan untuk pangan dan pertanian telah punah pada 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain masih terancam.
Di Indonesia, kondisi perlindungan hewan langka sendiri dan terancam punah sendiri diperparah dengan perdagangan ilegal satwa yang cukup besar bahkan disebut bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya.
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR