“Implementasi sudah diaplikasi ke industri manufaktur pesawat, banyak sensor dipasang di setiap pesawat sehingga dapat mendeteksi risiko kerusakan dan perawatan. Demikian juga di otomotif, mobil seri mahal itu penuh sensor, ban kempis sedikit sudah ketahuan. Mobil yang dipasangi berbagai sensor itu, datanya kemudian dikumpulkan di edge computing untuk dianalisis dengan machine learning,” jelasnya.
Masih Adanya Tantangan
Lebih lanjut, Rudi Rusdiah selaku Chaiman Asosiasi Big Data & AI Indonesia, menilai bahwa penggunaan AI, ML, dan IoT yang marak di sektor manufaktur di Indonesia tidak lepas dari berbagai tantangan ke depan. Salah satu tantangan itu adalah sumber daya manusia (SDM) yang membutuhkan keahlian tertentu.
“Adopsi teknologi digital terbaru seperti AI, ML, dan IoT makin tumbuh pesat di sektor manufaktur di Indonesia. Hal ini merupakan kelanjutan dari sistem otomasi di sektor manufaktur yang telah berkembang dari 10 tahun lalu, kemudian beralih ke arah efisiensi dan kegesitan dalam operasi,” ujarnya.
Sementara itu, Franky Christian selaku Chairman Aptiknas DKI Jakarta yang juga Sekjen Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) mengungkapkan jika pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah membuat INDI 4.0 yang menjadi indeks acuan untuk mengukur tingkat kesiapan industri manufaktur menuju Revolusi Industri 4.0. Hasil sementara dari INDI 4.0, sebanyak 326 perusahaan manufaktur telah melakukan assessment dan bersiap untuk bertransformasi menuju Revolusi Industri 4.0.
“Hal ini menunjukkan manufaktur mulai sadar dengan Revolusi Industri 4.0 sesuai dengan visi Presiden Jokowi yang dicanangkan pada April 2019 saat peluncuran making Indonesia 4.0. Kondisi ini juga mendorong adopsi yang lebih cepat untuk cloud computing, AI, ML, dan IoT,” ucap Franky.
Baca Juga: Tips bagi perusahaan Indonesia menjawab tantangan Industry 4.0
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR