Cloud gaming adalah gaming alias bermain gim yang setidaknya sebagian sumber daya pentingnya berada di cloud dan bukannya di komputer lokal.
Cloud gaming ini menyerupai video streaming, cloud storage, dan sejenisnya, tetapi untuk bermain gim.
Di Indonesia sendiri, saat ini sudah ada startup yang fokus menyediakan layanan cloud gaming yaitu gameQoo (dulunya bernama Emago) dan Skyegrid.
Dengan memiliki keunggulan masing-masing yang ditawarkan, perlu diakui bahwa keduanya merupakan pelopor dari penyedia layanan cloud gaming di Tanah Air.
Untuk yang pertama, mari kita bahas dari sisi gameQoo. Berbincang dengan InfoKomputer, Izzuddin Al Azzam selaku CEO GameQoo menjelaskan bahwa startup-nya sudah berdiri sejak Februari 2017 lalu dan beroperasi penuh di bawah naungan PT Telkom (Telekomunikasi Indonesia).
Berbeda dengan awal ketika berdiri, setelah melakukan rebranding pada Maret 2018 gameQoo melakukan perombakan khususnya dari gim yang ditawarkan, yang di mana kini hanya berfokus pada gim ber-genre casual atau mainstream.
“Sekarang itu ada sekitar 57 gim di platform kami. Tapi jumlah itu berubah sekali dari awal dulu gameQoo berdiri, dan daftar gimnya juga berbeda dengan yang sekarang. Awalnya, kami juga sempat menyasar ke hardcore gamer, kemudian kami lihat ternyata tidak cocok dan gim ber-genre hardcore akhirnya dihilangkan,” jelas pria yang akrab disapa Azzam tersebut.
Sebagai informasi, gim hardcore adalah gim-gim yang membutuhkan skill lebih, mempunyai kesulitan yang menantang, memiliki tingkat level atau misi yang banyak sehingga memainkannya membutuhkan waktu dan dedikasi tinggi.
Beberapa nama gim yang masuk dalam genre ini seperti GTA 5, Dota 2, Monster Hunter, Fortnite, dan lainnya.
Lebih lanjut, saat ini layanan gameQoo hanya bisa diakses melalui perangkat PC dan Set Top Box (STB) di TV.
Untuk STB, hanya pelanggan yang berlangganan IndiHome saja yang bisa menggunakan layanan ini.
Seperti diketahui, beberapa layanan cloud gaming biasanya juga tersedia untuk perangkat ponsel pintar, mengapa gameQoo belum tersedia?
Menjawab itu, Azzam mengatakan “Sebenarnya untuk di Android sudah bisa, hanya belum kami buka saja aksesnya. Alasannya, karena tidak worth it juga untuk saat ini kalau cloud gaming menggunakan mobile broadband seperti sekarang. Jadi, untuk saat ini kami hanya menyasar ke fix broadband saja.”
Berbicara mengenai demografi, jangkauan gameQoo baru hanya tersebar di Jakarta dan Jawa Barat.
Menurut Azzam, ada alasan tersendiri mengapa gameQoo belum memperluas pasarnya ke provinsi-provinsi lain.
“Pertama, karena pengguna IndiHome terbesar ada di dua provinsi itu. Kedua, kami ingin melihat dahulu sambil me-maintenance user dan melihat problem-nya ada di mana aja. Jadi dari situ nantinya kami dapat gambaran yang bagus sebelum scale up ke nasional,” ucap Azzam.
Untuk menjadi pelanggan gameQoo, ada beberapa jenis paket dengan kisaran harga mulai dari Rp85 ribu hingga Rp160 ribu untuk per bulannya. Kabar terbarunya, sebagai penyerderhanaan, di tahun ini gameQoo akan mengeluarkan hanya satu paket saja dengan harga Rp99 ribu. Lewat paket tersebut, pengguna sudah bisa mengakses seluruh gim yang disediakan.
Nah, setelah melihat layanan cloud gaming dari sudut pandang gameQoo, sekarang mari kita bahas dari kompetitornya yakni Skyegrid.
Berbeda dengan dengan gameQoo yang hanya menyediakan gim ber-genre casual saja, SkyeGrid justru menyediakan gim dengan bergrafis tinggi di dalam platformnya.
Rolly Edward selaku CEO dan Founder Skyegrid, mengungkapkan bahwa gim yang tersedia di SkyeGrid sudah mencapai lebih dari 90 gim, baik dari publisher internasional maupun lokal.
Beberapa gim tersebut seperti DOTA 2, GTA 5, Apex Legends, PUBG, dan Counter-Strike.
“Sedangkan untuk gim lokal beberapa judul gim yang disediakan seperti DreadOut, Pamali, dan Ultra Space Battle Brawl, dan yang terbaru ada Pulang: Insanity Demo,” ucap Rolly.
Selain mampu menawarkan daftar gim bergrafik tinggi, Skyegrid juga memiliki keunggulan lain di mana setiap gim dapat dimainkan di berbagai jenis perangkat seperti PC (Windows, Mac, dan Linux), ponsel pintar (Android), dan Smart TV.
Berbicara mengenai jumlah pengguna, sampai akhir tahun 2019 lalu tercatat sudah ada sekitar 4.500 pengguna aktif di Skyegrid.
Yang menariknya, dari jumlah pelanggan aktif tersebut ternyata tidak hanya berasal dari Indonesia saja.
“Untuk pelanggan perbulannya, terbanyak diperingkat pertama itu pastinya Indonesia, kedua Malaysia, dan ketiga Amerika Serikat,” cetus Rolly.
Sedangkan dari persentase penggunaan jaringan dan perangkat yang digunakan untuk bermain, Rolly menjelaskan ada sedikit perubahan dibanding beberapa bulan sebelumnya.
“Penggunaan jaringan banyaknya yang pakai Wifi. Dan pengguna perangkatnya, yang sedang tren itu 60% di ponsel pintar dan 40% di PC. Padahal, sebelumnya masih 50%:50% perbandingannya,” kata Rolly.
Lebih lanjut, dari sisi bisnis, Rolly menjelaskan bahwa Skyegrid menerapkan pembagian hasil dengan setiap publisher gim yang ada di platformnya berdasarkan persentase dari seberapa banyak voucher yang terjual.
Sebagai informasi, untuk berlangganan di Skyegrid, setiap pelanggan harus membeli voucher berlangganan yang saat ini tersedia dalam dua pilihan yaitu voucher paket mingguan (Rp69 ribu) dan paket bulanan (Rp179 ribu).
“Persentase itu dari berapa voucher yang kami jual dan ditentukan oleh publisher. Semakin banyak kita jual, persentasenya akan semakin kecil. Apakah itu fair? Buat kami itu belum. Karena pengguna cloud gaming di Indonesia masih sedikit. Tapi di masa depan, kalau ini (cloud gaming) memang sudah masif, justru metode itu akan semakin menguntungkan buat publisher dan juga buat kami,” papar Rolly.
Tantangan yang Dihadapi Saat Ini
Dalam mengembangkan bisnis cloud gaming, gameQoo dan Skyegrid mengaku ada beberapa tantangan yang dihadapi, khususnya dalam hal edukasi kepada gamer di Indonesia.
“Tantangan yang paling susah adalah membiasakan orang Indonesia dengan metode subscription (berlangganan). Orang Indonesia sudah kebiasaan dalam tanda kutip gim gratis (bajakan) ya. Berbeda dengan orang luar negeri yang memang dari dulu terbiasa dengan gim berbayar. Maka dari itu, kami juga banyak ikut event tahunan seperti dari Bekraf, ke kampus-kampus, untuk edukasi hal ini (berlangganan),” terang Azzam.
Sedangkan bagi Rolly, harga yang ditawarkan juga menjadi tantangan tersendiri mengingat seperti yang dijelaskan Azzam sebelumnya bahwa berlangganan gim belum menjadi kebiasaan bagi sebagian besar orang Indonesia.
“Masih banyak yang menganggap harga berlangganan cloud gaming itu mahal. Untuk mengatasi masalah harga ini, kami sedang menggarap solusinya dengan segera meluncurkan paket per jam,” ucap Rolly.
Selain kedua hal itu, jaringan internet yang sudah ada saat ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi gameQoo dan Skyegrid.
Oleh karena itu, keduanya sepakat bahwa kehadiran jaringan 5G yang diperkirakan masuk pada beberapa tahun ke depan akan semakin mendukung kamajuan industri tersebut.
Ancaman Bagi Perangkat Gaming
Di tengah istilah cloud gaming yang tengah ramai diperbincangkan, muncul anggapan bahwa cloud gaming dapat mengancam industri perangkat gaming seperti Playstation, Nintendo, hingga PC gaming.
Mengomentari hal tersebut, Azzam memiliki perspektif bahwa cloud gaming sejatinya tidak akan menggantikan ketertarikan para gamer akan konsol gim atau PC gaming.
“Tidak akan mengganggu bisnis mereka. Saya percaya cloud gaming sampai 5 tahun ke depan hanya untuk casual gamer dan bukan untuk yang serius (hardcore). Para hardcore gamer pasti masih akan memilih PC gaming, karena mereka suka build. Mereka suka bentuk fisik PC gaming,” terang Azzam.
Berbeda dengan pandangan Azzam, Rolly mengatakan bahwa cloud gaming sudah dipastikan akan mengganggu bisnis industri perangkat gaming.
“Gara-gara cloud gaming, banyak fenomena yang berubah. Sekarang, mereka (perusahaan perangkat gim) saja sudah bikin (platform). Xbox dengan xCloud-nya, Playstation dengan Playstation Now-nya. Itu layanan sejenis SkyeGrid juga tapi harus punya perangkatnya dan sudah mulai bisa diakses di PC. Nah, mereka saja sudah menyediakan. Jadi kalo prediksi saya, kita ‘kan dengar juga kalo PS 5 dan Xbox Series X akan rilis, mungkin ini jadi konsol terakhir mereka. Sebelum mereka merambah full ke cloud,” papar Rolly.
Kembali dijelaskan Rolly, bahwa seperti tren yang sudah-sudah, konsol gim biasanya akan bertahan atau popular selama 5 tahun saja.
“5 tahun lagi dari sekarang yang berarti 2025, itu 5G dipastikan mulai merata. Yang mereka tunggu sebenarnya itu. Layanan untuk cloud gaming bisa masif kalau jaringan 5G sudah luas. Itulah yang diharapkan oleh semua dan kenapa konsol masih tetap bikin untuk sekarang. Tapi yang jelas, kehadiran cloud gaming ini mempengaruhi bisnis mereka,” pungkas Rolly.
Nah, itu tadi tanggapan dari para penyedia cloud gaming di Indonesia. Sedangkan dari salah satu perusahaan teknologi yang turut memproduksi perangkat gaming, ASUS, mengungkapkan bahwa kehadiran cloud gaming tidak mengganggu bisnis mereka.
“Dari sisi ASUS, kami tidak melihat ini sebagai ancaman dan mungkin bisa jadi merupakan peluang baru, namun bukan untuk bisnis produk gaming,” kata Muhammad Firman, Head of Public Relation, ASUS Indonesia.
Menurutnya, ketika nantinya cloud gaming semakin digemari justru akan berdampak pada bisnis perangkat low end di ASUS, baik notebook atau ponsel pintar. Seperti diketahui, cloud gaming memungkinkan gim bergrafis tinggi untuk dimainkan di perangkat dengan berspesifikasi rendah sekalipun.
“Sedangkan untuk produk gaming seperti laptop, desktop atau smartphone gaming ASUS, sejauh ini cloud gaming bukan menjadi ancaman karena gaming experience yang ditawarkan berbeda dengan gaming konvensional,” ucap Firman.
Kembali dijelaskan Firman, menurutnya potensi cloud gaming untuk mengubah industri gim secara keseluruhan juga tampaknya akan masih relatif jauh. Oleh karena itu, ia menilai bahwa ke depannya perangkat gaming dipastikan akan tetap dan semakin menjadi primadona bagi para gamer.
“Apalagi industri gaming saat ini sangat pesat pertumbuhannya, baik dari sisi jumlah pengguna, revenue, dan coverage-nya. Ditambah, pemerintah juga terus mendukung perkembangan industri e-sports di Indonesia,” pungkas Firman.
Penulis | : | Cakrawala |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR