Sebelum epidemi, ada sekitar 30 ribu petani yang terlibat di ekosistem Tanihub. Namun ketika semakin banyaknya petani membutuhkan jalur distribusi alternatif, jumlahnya diprediksi meningkat drastis. “Dalam beberapa minggu ke depan bisa mencapai 60 ribu petani,” ungkap Ivan.
Ketika suplai melimpah, tantangan berikutnya adalah menyalurkan produk agrikultur tersebut ke masyarakat. Meski penggunaan e-commerce agrikultur meningkat, Ivan mengakui tidak mudah menciptakan pasar. “Membangun market yang bisa menyerap suplai ini tidak mudah, dan itu yang sedang kami usahakan dengan teman-teman di lapangan,” tambah Ivan.
Memastikan Keamanan Proses
Sambil mencoba memenuhi kebutuhan pasar, tim Tanihub juga harus menghadapi tantangan secara proses bisnis. Saat ini, mayoritas tim Tanihub terpaksa melakukan Work From Home, dengan pengecualian tim warehouse yang tetap harus mengurus pengiriman produk.
Ivan menyebut, standar keamanan sudah diterapkan di warehouse Tanihub. Contohnya pengaturan jarak antar pekerja, serta pengaturan antar-shift keluar/masuk yang membuat karyawan tidak saling bertemu. “Kami juga melakukan beberapa langkah pencegahan demi keamanan dan keselamatan masyarakat,” tambah Ivan.
Efek lain dari epidemi ini adalah terganggunya pembangunan packaging and processing center Tanihub di Malang. Pusat pengolahan ini diproyeksikan beroperasi pada Mei 2020 ini, namun mungkin harus menunggu sedikit lebih lama. Namun jika pusat pengolahan itu terwujud, Ivan yakin efeknya akan besar kepada petani. “Karena petani bisa melihat mekanisme grading yang kami lakukan, sehingga menjadi feedback bagi mereka dalam membudidayakan tanaman,” ujar Ivan.
Harapan besarnya tentu saja, mempromosikan produk pertanian Indonesia. “Kami ingin menunjukkan ke masyarakat jika produk pertanian petani Indonesia bisa bersaing dengan produk import,” tambah Ivan.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR