Ada masa ketika aktivitas membeli sayur-mayur menjadi kegiatan keseharian yang normal dan lumrah. Namun hari-hari ini, kita memang berada di masa yang sulit, ketika membeli sayur menjadi masalah tersendiri. Epidemi Covid-19 membuat masyarakat takut keluar rumah, termasuk untuk membeli sayur dan kebutuhan pangan lainnya.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa pencarian kata kunci “membeli sayur online” di Google Search melejit dalam beberapa minggu terakhir. Fenomena ini juga dirasakan Tanihub, startup digital di bidang produksi dan distribusi produk agrikultur. “Saat ini semakin banyak pelanggan B2C yang menggunakan layanan kami. Jumlah SKU atau jenis produk [yang dicari] juga semakin beragam,” cerita Ivan Arie, CEO Tanihub.
Ivan menyebut, pihaknya tidak pernah berharap layanan Tanihub menjadi populer di tengah epidemi seperti saat ini. “Saya kira kita semua tidak pernah berharap situasi seperti ini,” ungkap Ivan. Namun ketika publik membutuhkan ekosistem Tanihub, Ivan menyebut pihaknya siap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan tersebut. “Kami ingin memastikan suplai makanan bisa sampai ke masyarakat tanpa perlu keluar rumah,” tambah Ivan.
Menyerap Suplai
Selain di sisi konsumen, dampak epidemi Covid-19 sebenarnya juga dirasakan petani. “Saya mendapatkan informasi, banyak petani yang kehilangan market-nya,” ungkap Ivan. Hal ini karena petani biasanya menyalurkan hasil panennya ke offline offtaker (seperti pedagang besar atau pedagang pasar induk) yang saat ini juga mengalami hambatan menjual produknya. “Jadi banyak petani yang membutuhkan alternatif untuk menyalurkan produk mereka,” tambah Ivan.
Karena itu, Tanihub saat ini mencoba menyerap hasil panen petani sebanyak-banyaknya. “Jika petani kesulitan mengirimkan produk mereka ke gudang, kami mencoba berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk menyediakan akses distribusi,” ujar Ivan menggambarkan usaha yang mereka lakukan.
Sebelum epidemi, ada sekitar 30 ribu petani yang terlibat di ekosistem Tanihub. Namun ketika semakin banyaknya petani membutuhkan jalur distribusi alternatif, jumlahnya diprediksi meningkat drastis. “Dalam beberapa minggu ke depan bisa mencapai 60 ribu petani,” ungkap Ivan.
Ketika suplai melimpah, tantangan berikutnya adalah menyalurkan produk agrikultur tersebut ke masyarakat. Meski penggunaan e-commerce agrikultur meningkat, Ivan mengakui tidak mudah menciptakan pasar. “Membangun market yang bisa menyerap suplai ini tidak mudah, dan itu yang sedang kami usahakan dengan teman-teman di lapangan,” tambah Ivan.
Memastikan Keamanan Proses
Sambil mencoba memenuhi kebutuhan pasar, tim Tanihub juga harus menghadapi tantangan secara proses bisnis. Saat ini, mayoritas tim Tanihub terpaksa melakukan Work From Home, dengan pengecualian tim warehouse yang tetap harus mengurus pengiriman produk.
Ivan menyebut, standar keamanan sudah diterapkan di warehouse Tanihub. Contohnya pengaturan jarak antar pekerja, serta pengaturan antar-shift keluar/masuk yang membuat karyawan tidak saling bertemu. “Kami juga melakukan beberapa langkah pencegahan demi keamanan dan keselamatan masyarakat,” tambah Ivan.
Efek lain dari epidemi ini adalah terganggunya pembangunan packaging and processing center Tanihub di Malang. Pusat pengolahan ini diproyeksikan beroperasi pada Mei 2020 ini, namun mungkin harus menunggu sedikit lebih lama. Namun jika pusat pengolahan itu terwujud, Ivan yakin efeknya akan besar kepada petani. “Karena petani bisa melihat mekanisme grading yang kami lakukan, sehingga menjadi feedback bagi mereka dalam membudidayakan tanaman,” ujar Ivan.
Harapan besarnya tentu saja, mempromosikan produk pertanian Indonesia. “Kami ingin menunjukkan ke masyarakat jika produk pertanian petani Indonesia bisa bersaing dengan produk import,” tambah Ivan.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR