Konflik Presiden AS, Donald Trump, dan Twitter semakin panas. Hari ini, Donald Trump mengeluarkan Executive Order yang mengancam kekebalan yang dinikmati Twitter (dan penyedia platform lainnya di internet). Executiver order ini mungkin tidak akan menimbulkan konsekuensi fatal ke Twitter, namun menjadi penanda rumitnya mekanisme hukum bagi penyedia platform.
Mengapa Donald Trump menyerang Twitter?
Semua bermula dari tweet Trump pada 26 Mei lalu, yang mengkritik mekanisme pemilu via surat. Twitter kemudian menandai dua tweet Trump dengan label fact-checked, yang mengindikasikan klaim Trump di tweet tersebut tidak akurat.
There is NO WAY (ZERO!) that Mail-In Ballots will be anything less than substantially fraudulent. Mail boxes will be robbed, ballots will be forged & even illegally printed out & fraudulently signed. The Governor of California is sending Ballots to millions of people, anyone.....
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) May 26, 2020
CEO Twitter, Jack Dorsey, menyebut pelabelan terhadap tweet Trump itu dimaksudkan untuk memberi konteks lebih luas atas sebuah isu yang kompleks seperti pemilu via surat itu. Apalagi, informasi yang beredar saling kontradiktif.
Dengan menyajikan informasi yang komplit, Twitter berharap pengguna bisa memutuskan informasi mana yang benar.
Akan tetapi, Trump menilai langkah Twitter itu merupakan pelanggaran kebebasan berpendapat. Hal inilah yang mendorong Trump menerbitkan executive order terkait kebijakan media sosial.
Apa isi Executive Order?
Sebagai latar belakang, executive order itu semacam Peraturan Presiden di Indonesia, yaitu perintah atau aturan dari Presiden AS kepada jajaran pemerintahannya tanpa melibatkan DPR/pihak legislatif.
Secara spesifik, executive order ini memerintahkan FCC untuk meninjau kembali kekebalan hukum bagi penyedia layanan di internet yang termaktub di Section 230 di aturan Communication Decency Act. Trump beralasan, aturan ini telah disalahgunakan penyedia layanan seperti Twitter, untuk menghalangi kebebasan berpendapat.
Apa sebenarnya Section 230 itu?
Pada aturan Section 230, tertulis kalau penyedia platform di internet tidak bertanggung jawab atas konten yang dibuat oleh penggunanya. Penyedia layanan berhak membuat aturan berdasarkan norma umum, seperti melarang konten kekerasan atau seks. Namun jika ada pengguna yang mengunggah konten yang dilarang, penyedia layanan kebal terhadap konsekuensi hukumnya.
Aturan ini sering disebut pondasi industri internet karena memungkinkan penyedia platform seperti Google, Youtube, Facebook, sampai Wikipedia melibatkan pengguna untuk mengisi konten. Bayangkan sulitnya Google, misalnya, jika harus menerima tuntutan hukum atas setiap konten melanggar hukum yang dimuat di Google Search.
Akan tetapi, belakangan muncul gugatan atas Section 230 ini. Seperti yang dituduhkan Trump, aturan ini menjadi tameng untuk membatasi kebebasan berpendapat. Penyedia platform dianggap menjadi “pemilik kebenaran” yang bisa menyortir pendapat yang berseberangan.
Gugatan juga muncul dari spektrum berlawanan, yang menganggap Section 230 membuat penyedia platform dapat seenaknya memuat konten negatif tanpa konsekuensi hukum. Section 230 membuat situs yang memuat kekerasan, rasialis, dan konten negatif lainnya memiliki kedudukan hukum yang sama dengan situs bergengsi seperti Wikipedia.
Apa executive order mengancam keberlangsungan Twitter?
Tidak juga. Karena “hanya” executive order, aturan ini tidak bisa mengganti UU yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi. Executive order ini pasti juga akan mendapat perlawanan hukum dari Twitter dan pemerhati kebebasan berpendapat.
Boleh dibilang, executive order hanyalah gertakan Trump untuk menakut-nakuti perusahaan media sosial. Karena bagaimana pun, media sosial adalah platform penting jelang pemilu AS tahun ini.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR