Neal Dennis, spesialis ancaman intelijen di firma keamanan Cyware Labs Inc mengatakan birokrasi yang berlapis di perusahaan juga seringkali membuat persyaratan lowongan kerja di bidang siber yang seharusnya sederhana, menjadi rumit.
Terkadang, pengiklan lowongan kerja juga hanya menduplikasi persyaratan yang sama dari iklan lowongan kerja lain, yang mungkin saja kebutuhannya berbeda.
"Ada kesalahpahaman menurut saya, tentang apa (persyaratan) yang seharusnya diperuntukkan bagi junior, menengah, senior, dan apa ekspektasinya," jelas Dennis, dirangkum dari The Wall Street Journal.
Menurut Rosso, syarat kerja yang berlebihan bukanlah faktor tunggal mengapa kebutuhan pekerja di bidang siber belum tercukupi. Dia menyarankan agar perusahaan juga berkompromi dengan ekspektasinya terhadap kandidat.
Perusahaan bisa mempertimbangkan kandidat yang lebih beragam untuk memecahkan masalah.
Cyberspace Solarium Commission, sebuah badan federal yang dibentuk untuk menganalisis persiapan keamanan siber di AS, memberikan rekomendasi agar badan federal mempertimbangkan akademisi non-tradisional, dan mereka yang berlatar belakang profesional.
Akademisi non-tradisional merujuk pada mereka yang masih melanjutkan studi pendidikan formal di atas usia umum. Misalnya orang dewasa usia di atas 25 tahun yang baru masuk perguruan tinggi strata satu, untuk mengejar sertifikat profesional atau gelar.
Jalan keluar
Selain beberapa usul di atas, skema magang dan jalur pengembangan karir bagi pekerja bidang keamanan siber baru, bisa membantu mengubah pola perekrutan semacam ini.
Termasuk program untuk membantu mereka mendapatkan pengalaman pekerjaan dan membantu pekerja mendapat sertifikasi profesional, yang total biayanya bisa mencapai US$10.000 atau sekitar Rp141 juta per orang, menurut estimasi Forrester pada Juni 2019 lalu.
Upaya ini juga bisa membantu perusahaan mempertahankan pekerjanya yang pada akhirnya bisa mengurangi kesenjangan kebutuhan pekerja keamanan siber.
"Setelah perubahan itu terjadi, saya pikir kebutuhan skill akan mulai terjawab dengan sendirinya. Hingga akhirnya kami menyadari bahwa sebenarnya bukan tidak ada kekurangan SDM, melainkan hanya kurang tahu jika tersedia orang-orangnya," kata Dennis.
Bagaimana di Indonesia
Pembicaraan soal keamanan siber di Indonesia mungkin belum terlalu menyusup sampai ke kebutuhan pekerja. Namun kabar baiknya, mulai banyak perusahaan di Indonesia yang mulai sadar tentang keamanan siber.
Menurut laporan berjudul The State of Cybersecurity in ASEAN, 2020 yang dipublikasikan Palo Alto Networks pada Juli lalu, 84 persen perusahaan di Indonesia meningkatkan anggaran di bidang keamanan siber pada tahun 2019-2020.
Peningkatan itu tertinggi di Asia Tenggara. Namun, menurut catatan laporan tersebut, Indonesia perlu menguatkan infrastruktur dan regulasi keamanan sibernya.
Indonesia sempat akan memiliki regulasi yang dimaksud. Tahun lalu, DPR hampir mengesahkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Tetapi RUU ini menimbulkan polemik, karena dianggap akan mengancam privasi dan kebebasan berekspresi dalam berinternet.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Cakrawala |
KOMENTAR