Hanya lima dari sepuluh orang yang membaca dulu secara tuntas berita atau artikel yang akan dibagikan ke medsos. Sementara penyebaran informasi palsu bisa menjadi pintu masuk bagi kejahatan siber.
Social distancing dan lockdown yang diberlakukan di berbagai negara akibat COVID-19 telah mendorong peningkatan konsumsi berita, baik di media-media mainstream maupun media sosial (medsos).
Bahkan penelitian terbaru Kaspersky menemukan bahwa media sosial menjadi sebagian besar platform yang digunakan netizen di Asia Tenggara. Kaspersky mengungkapkan bahwa mayoritas (76%) pengguna di kawasan tersebut memperoleh update berita dari platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya. Persentase tertinggi terlihat pada pengguna Gen Z (83%), diikuti oleh Milenial (81%), Baby Boomers (70%), dan Gen X (62%).
Permasalahannya adalah informasi yang dibagikan melalui platform medsos itu belum tentu bisa dipercaya. Apalagi survei yang dilakukan Kaspersky pada November 2020 lalu juga mengungkapkan bahwa hampir 2 dari 10 (18%) responden mengaku berbagi berita sebelum memverifikasi kebenarannya. Presentase tertinggi terlihat di kelompok pengguna Gen Z (28%), diikuti oleh Gen X (21%), dan Baby Boomers (19%). Sementara kelompok pengguna Milenial mencatatkan rekor terendah dalam aspek ini yaitu 16%.
Psikolog dari Mind What Matters, Beverly Leow menjelaskan, alasan rendahnya tingkat verifikasi saat berbagi berita secara online dapat dikaitkan dengan teori presentasi diri, di mana individu ingin melindungi dirinya sendiri dengan cara tertentu. Oleh karena itu, ketika pengguna berbagi informasi tanpa menimbang kebenarannya, kemungkinan besar mereka termotivasi oleh prospek untuk menampilkan diri sebagai netizen dengan informasi terkini (update) dan berpengetahuan luas.
“Media sosial menghadirkan berbagai jenis narasi kepada kita. Terkadang insiden atau peristiwa tertentu mungkin memiliki beberapa narasi atau versi yang saling bertentangan, dan memverifikasi kebenaran masalah atau validitas informasi yang disajikan mungkin lebih memakan waktu dan membutuhkan lebih banyak upaya daripada menekan tombol 'bagikan' atau 'mengirim kembali' ", jelas Leow.
Studi yang dilakukan terhadap 1.240 responden di mana 831 responden di antaranya dari berasal dari Asia Tenggara ini juga mendapati bahwa hanya 5 dari 10 responden di semua generasi yang menyatakan bahwa mereka membaca artikel lengkap sebelum membagikannya di akun personal.
“Pengguna internet Asia Tenggara diperkirakan mencapai 400 juta dengan tambahan 40 juta orang yang merupakan pengguna internet pertama kali pada tahun 2020. Wilayah ini juga dikenal sebagai salah satu pengguna media sosial yang paling aktif. Faktanya, survei kami menunjukkan 36% pengguna di Asia Tenggara menghabiskan 1-2 jam lebih banyak pada platform online ini setelah penguncian, 28% menambahkan 2-4 jam, dan sekitar 17% dengan 4-6 jam lebih dihabiskan untuk bersosialisasi online,” ujar Yeo Siang Tiong, General Manager untuk Asia Tenggara di Kaspersky.
Yeo menambahkan bahwa dari perspektif keamanan siber, informasi palsu adalah bentuk rekayasa sosial dalam skala lebih besar yang digunakan oleh pelaku kejahatan siber untuk secara efektif dan mudah membidik targetnya, baik individu maupun organisasi.
Di tahun 2020 di mana pandemi akibat virus corona terjadi, banyak beredar email phishing, penipuan, dan domain palsu yang memanfaatkan topik COVID-19. Dan sekarang, para penjahat maya mulai memanfaatkan topik seputar vaksin.
Inilah sebabnya, baik individu maupun bisnis, dengan format bekerja dari rumah saat ini, tidak boleh menganggap enteng disinformasi di media sosial. "Dengan pandemi yang masih jauh dari selesai, kewaspadaan terhadap informasi dan tautan yang kita bagikan menjadi sangat penting,” ucap Yeo.
Kesadaran tentang disinformasi online menunjukkan tanda-tanda perubahan di wilayah Asia Tenggara dengan 6 dari 10 responden dari semua generasi mengatakan bahwa mereka memeriksa sumber informasi atau berita yang beredar di media sosial sebelum mengeklik "Bagikan".
Para Baby Boomer juga memimpin (41%) sebagai kelompok yang menentang ketika teman atau anggota keluarga membagikan berita palsu, berdasarkan penilaian mereka. Kemudian diikuti oleh Milenial (27%) dan Gen X (23%). Gen Z tampak lebih menghindari konfrontasi dengan berada di persentase 19%.
Pemblokiran (blocking) adalah cara lain pengguna di Asia Tenggara untuk melindungi diri dari risiko kesalahan informasi. Lebih dari seperempat responden mengaku memblokir kontak yang membagikan artikel yang menurut mereka tidak akurat. Persentase pemblokiran teman online ini paling tinggi dilakukan oleh Gen Z sebesar 46%, diikuti oleh Boomers, Milenial, dan Gen X dengan masing-masing sebesar 33%, 32%, dan 30%.
Himbauan "saring sebelum sharing" juga kerap didengungkan di Indonesia oleh pihak-pihak, seperti Kemenkominfo dan Kepolisian. Pasalnya disinformasi semacam ini tidak saja menimbulkan kecemasan dan ketidakpercayaan. Khususnya di masa pandemi, disinformasi dapat menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan (disobedience) sosial.
Untuk membantu pengguna melindungi diri dari serangan manipulasi psikologis yang berbahaya di media sosial, pakar Kaspersky menyarankan beberapa saran, seperti mekuangkan waktu untuk memeriksa sumber asli pesan, meneliti dan membaca secara seksama sebelum berbagi informasi di medsos, mengubah pengaturan media sosial menjadi 'hanya teman' dan berhati-hati dengan apa yang dibagikan. Kaspersky juga menyarankan penggunaan solusi keamanan. Bagi perusahaan, Kaspersky memberisaran agar menerapkan solusi perlindungan end point, seperti produknya, Kaspersky Endpoint Detection and Response Optimum.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR