Tidak seperti beragam vendor smartphone Android, Apple tak pernah mengumbar berapa kapasitas RAM dari perangkat iPhone yang dibuat. Kapasitas RAM iPhone biasanya memang lebih sedikit dibanding perangkat Android di generasi yang sama.
Trio iPhone 12 misalnya, hanya memiliki RAM 4 GB hingga 6 GB. Sementara, ponsel Android anyar, terutama kelas menengah ke atas dan flagship bisa memiliki RAM dengan kapasitas 8 GB hingga 16 GB.
Meski memiliki RAM lebih kecil, performa iPhone sebanding dengan perangkat Android flagship dengan kapasitas memori hingga dua kali lebih banyak, kalau bukan lebih kencang.
Apa rahasianya?
Beda manajemen memori. Salah satu kuncinya adalah manajemen memori perangkat iOS yang relatif lebih baik dibandingkan Android. Kedua sistem operasi itu memang dibangun dengan cara berbeda.
Agar bisa berjalan di berbagai perangkat dengan konfigurasi hardware berbeda, perangkat Android menggunakan virtual machine berbasis bahasa pemrograman Java. Pengembang pun cukup menulis aplikasi sekali saja dalam Java, kemudian virtual machine akan menjalankannya di sistem manapun, tanpa harus ditulis dan dikompilasi ulang.
Masalahnya, karena harus menangani kode Java original aplikasi, kode hasil translasi, berikut proses emulasinya sendiri, virtual machine ini kompleks dan membutuhkan memori serta sumberdaya besar.
Selain itu, di Java, memori yang sudah tidak terpakai lagi oleh aplikasi harus didaur ulang lewat proses yang dikenal sebagai Garbage Collection, supaya bisa dipakai oleh aplikasi lain.
Supaya bisa berjalan efektif, Garbage Collection membutuhkan RAM dalam jumlah besar. Kalau RAM yang tersedia tidak mencukupi, maka perangkat akan terlalu sering mendaur ulang memori sehingga menurunkan kinerja.
Virtual machine Java dan proses manajemen memori inilah yang menyebabkan pabrikan Android seringkali menanam RAM berkapasitas besar, untuk memastikan perangkatnya bisa berjalan mulus.
Proses virtual machine Android sebenarnya sudah ditingkatkan sehingga tidak lagi menyita banyak sumberdaya seperti dulu. Tapi aplikasi-aplikasi Android juga berkembang menjadi lebih besar dan kompleks sehingga membutuhkan lebih banyak memori.
Di sisi lain, iOS tidak mengalami masalah serupa dengan manajemen memorinya. sejak awal sistem operasi berikut aplikasi-aplikasinya ditulis dan dikompilasi secara native menggunakan bahasa pemrograman Swift (dulu Objective-C).
Kode native ini kemudian dieksekusi secara langsung oleh hardware sehingga iOS tidak membutuhkan virtual machine ala Java yang boros memori. Sebab, iOS dan aplikasinya memang dirancang hanya bisa berjalan di perangkat buatan Apple saja, tak harus mengakomodir berbagai macam perangkat dengan konfigurasi hardware berbeda-beda seperti Android.
Selain itu, proses manajemen memori aplikasi antara kedua OS juga berbeda. Di Android, manajemen memori dilakukan oleh sistem operasi. Sementara di iOS, hal itu ditangani oleh aplikasi.
Ketimbang sistem operasi yang memberikan memori sebanyak mungkin ke aplikasi, untuk kemudian didaur ulang saat sudah tak terpakai, aplikasi-aplikasi iOS secara otomatis mengatur sendiri alokasi memorinya sesuai kebutuhan sehingga lebih efisien.
Beda sistem penerimaan notifikasi di aplikasi Selain perbedaan cara kerja sistem operasi di atas, hal lain yang turut berkontribusi pada besarnya kebutuhan RAM di ponsel Android adalah perbedaan sistem penerimaan notifikasi push di aplikasi-aplikasi seperti pesan instan dan media sosial.
Situs AndroidInfotech menerangkan bahwa dalam hal notifikasi ini, cara kerja aplikasi Android mirip dengan komputer. Tiap aplikasi, mesti benar-benar berjalan di latar belakang untuk bisa menerima notifikasi.
Kalau aplikasi tidak berjalan, maka notifikasi (push) tak akan diterima. Hal tersebut tentu bisa menjadi masalah untuk aplikasi yang membutuhkan respon segera, misalnya WhatsApp.
Semakin banyak aplikasi yang aktif, maka memori yang digunakan makin besar pula. Sementara itu, aplikasi iOS tak harus berjalan di memori untuk bisa menerima notifikasi. Sebab, berbeda dari Android, aplikasi di iPhone tak tersambung langsung ke server, melainkan lewat perantara server Apple.
Keuntungannya, aplikasi iOS tak harus senantiasa aktif untuk bisa menerima notifikasi. Server aplikasi akan mengirim notifikasi ke server Apple terlebih dahulu. Kemudian, server Apple akan mengirim notifikasi ke perangkat dan mengaktifkan aplikasi terkait.
Dengan begini, perangkat juga tak perlu membuka banyak port komunikasi ke server berbeda untuk tiap aplikasi -misalnya ke server Facebook, Telegram, dan seterusnya- melainkan cukup dengan port ke server Apple saja sehingga lebih jauh menghemat pemakaian memori.
Google melalui seri smartphone Pixel sebenarnya sudah mulai meniru langkah sistem notifikasi lewat server perantara seperti iPhone. Sayangnya, proses tersebut hanya berlaku untuk aplikasi-aplikasi buatan Google sendiri saja, seperti Gmail, dan Google Drive.
Problem aplikasi yang harus selalu aktif untuk menerima notifikasi ini lebih kentara lagi di ponsel Android di China. Sebab, ekosistem Android di China tak bisa tersambung ke layanan-layanan (server) Google yang memang diblokir di negara tersebut.
Akibatnya, ponsel Android untuk pasar domestik China pun cenderung memiliki RAM dengan kapasitas yang lebih besar dibandingkan versi yang dijual secara global.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR