Misalnya, perusahaan ingin membuat produk baru. Perusahaan harus menjadikan produk tersebut sebagai tujuan besar. Sementara, untuk hal teknis lain, seperti minat pasar, menjadi poin pendukung. Dengan demikian, data bisa diolah sesuai peruntukannya.
“Kita contoh dari Netflix, banyaknya data pengguna bisa diolah dengan baik karena mereka tahu tujuan awal mereka, yaitu sebagai referensi promosi di dalam bisnis,” kata Alamsyah.
Baca Juga: Instagram Bakal Kirimkan Notifikasi ke Pengguna Bila Layanan 'Down'
Data yang melimpah terkadang membuat perusahaan kelimpungan. Alih-alih mencari data penting, perusahaan justru berfokus pada sumber data yang spesifik.
Untuk menyiasati kendala yang ada, Alamsyah menyarankan agar perusahaan dapat lebih kreatif dan solid dalam memanfaatkan data. Ketimbang menggunakan data tertentu untuk keperluan satu atau dua divisi, data tersebut akan lebih baik jika diakses bersama.
Dengan cara ini, masing-masing divisi memiliki kesempatan yang sama untuk menemukan ide-ide baru. Kolaborasi antar-divisi pun bisa berjalan dengan kompak.
“Akan lebih baik jika data bisa diakses bersama. Jadi, tiap divisi bisa saling berbagi tentang ide atau kebutuhan mereka sehingga penggunaan data jadi lebih maksimal,” lanjutnya.
Baca Juga: Mengapa Cloud Security menjadi Skills Paling Dicari di Masa Depan
Masa transisi dari perusahaan konvensional menjadi data driven diakui Alamsyah tidaklah mudah. Tidak jarang perusahaan lebih berfokus pada cara menyimpan data yang baik, ketimbang memikirkan bagaimana data dapat diakses oleh seluruh kalangan internal.
“Perusahaan harusnya memikirkan bagaimana data bisa 'menyerang' atau berpartisipasi dalam strategi bisnis,” ungkapnya.
Untuk memantapkan diri sebagai data driven company, Alamsyah menyarankan agar perusahaan terus mengevaluasi sistem yang ada.
Ia mencontohkan, perusahaan dapat menyeragamkan sistem atau teknologi mereka secara menyeluruh agar setiap divisi dapat berkolaborasi bersama.
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR