Tahun 2021 kemarin menjadi era penting bagi adopsi cloud computing. Studi Gartner memprediksi, adopsi layanan public cloud global di tahun 2021 meningkat 18,4% ke angka US$304,9 miliar. Kondisi pandemi memaksa semua sektor industri mengakselerasi transformasi digitalnya, dan cloud computing menjadi instrumen penting dalam transformasi tersebut.
Tahun 2022 ini, cloud computing diramal akan tetap memegang peran krusial. Studi IBM terbaru menunjukkan, cloud computing (terutama dalam format hybrid cloud) akan menjadi faktor dominan infrastruktur digital perusahaan.
“Karena saat ini, media yang digunakan untuk menjalin hubungan dengan customer maupun internal business process adalah internet,” ungkap Novan Adian (Country Manager Partner Ecosystem IBM Indonesia), menjelaskan alasannya. Ketika internet menjadi media utama, cloud sebagai teknologi yang lahir di era internet pun menjadi pilihan paling logis.
Tantangannya kini tinggal bagaimana mengoptimalkan skema hybrid cloud yang kini sudah ada. Masalahnya, ini bukan hal yang mudah.
Tantangan Hybrid Cloud
Menurut Novan, implementasi ideal dari hybrid cloud adalah ketika infrastruktur on-premise dan public cloud menggunakan cloud native technology. “Jadi ketika menjalankan suatu aplikasi atau solusi, resource [on-premise dan cloud] ini bisa saling berbagi,” ungkap Novan.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan, hybrid cloud yang ideal ini memiliki tantangan tersendiri. Banyak perusahaan, terutama kelas enterprise, terlanjur memiliki banyak aplikasi yang berjalan di legacy systems dan monolithic. “Untuk memindahkan infrastruktur ke cloud, itu relatif mudah. Namun memindahkan aplikasi [monolithic] ini menjadi tantangan tersendiri,” ungkap Novan.
Atas tantangan tersebut, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan. Yang paling mendasar adalah, menyelaraskan tujuan bisnis dengan adopsi cloud. “Karena belum tentu adopsi cloud secara end-to-end itu cocok untuk kebutuhan perusahaan,” ungkap Novan. Menurut Novan, perusahaan di area B2C relatif lebih cocok mengadopsi cloud native technology.
Jika kebutuhan bisnis memang membutuhkan adopsi cloud native technology, perusahaan perlu mendefinisikan cloud journey yang akan ditempuh. Faktor yang perlu diperhitungkan mulai dari strategi membongkar monolithic application menjadi micro-services, mengatur prioritas aplikasi yang ke cloud, sampai memastikan faktor security-nya.
Jika opsi tersebut terlalu rumit atau tidak sepadan dengan manfaat bisnisnya, perusahaan bisa melakukan langkah lain. Yaitu, tetap mempertahankan core systems di on-premise, sementara aplikasi pendukung atau surrounding applications dipindahkan ke cloud. Dengan begitu, perusahaan tetap bisa memanfaatkan keunggulan cloud tanpa harus menempuh perjalanan yang berisiko.
Solusi End-to-End
Bagi banyak perusahaan, menentukan why dan how dalam adopsi cloud ini adalah tantangan tersendiri. Di sinilah IBM Indonesia mencoba mengambil peran. “Kami dapat membantu perusahaan untuk mendefinisikan journey to cloud sejak awal,” ungkap Novan.
IBM dapat membantu mulai dari perlu atau tidak melangkah sepenuhnya ke cloud, mengidentifikasi workload yang memiliki manfaat paling besar saat pindah ke cloud, sampai membantu menemukan potensi bisnis yang baru setelah adopsi cloud.
Kapabilitas itu dimungkinkan karena berbagai faktor. Di sisi hardware, IBM sudah lama terkenal dengan produk seperti IBM Power, mainframe, dan storage. Di sisi software, IBM kini memiliki Redhat yang menjadi pemimpin pasar di aplikasi open source. Belum lagi solusi di bidang AI yang sudah dikembangkan IBM sejak lama. “Dengan mengkombinasikan Redhat OpenShift dan AI di atas IBM hardware, kami memiliki solusi end-to-end dalam mendukung hybrid cloud,” ujar Novan.
Selain itu, IBM juga memiliki keunggulan dari sisi solusi spesifik untuk berbagai industri. “IBM pada dasarnya adalah perusahaan yang berangkatnya dari on-premise dan kemudian berubah menjadi cloud-native technology company,” ungkap Novan. Pengalaman pribadi IBM, dan pengalaman mendampingi transformasi digital perusahaan di seluruh penjuru dunia, membuat IBM memiliki technology stacks dan repository solutions yang komplit. “Jadi kami memiliki use case yang applicable di berbagai industri,” ungkap Novan.
Mengembangkan Ekosistem
Kekayaan solusi semakin lengkap dengan keberadaan business partner IBM Indonesia. Seperti tercermin dari situs IBM Business Partner, mitra IBM Indonesia memiliki deretan solusi siap pakai untuk beragam industri. Artinya, perusahaan dapat langsung mengimplementasikan solusi siap pakai yang dirancang sesuai best practice di industri.
Melangkah ke depan, IBM akan terus meningkatkan ekosistem dengan mengundang lebih banyak partner. "Karena di era digital ini, pasar membutuhkan puluhan ribu solusi, baik yang end-to-end maupun yang spesifik," tambah Novan.
Untuk mendukung ekosistem ini, IBM Indonesia berkomitmen membuka akses yang luas ke teknologi IBM. Para business partner dapat menjajal teknologi dan solusi yang dimiliki IBM. IBM Indonesia juga menyediakan solution architect yang akan membantu partner mengidentifikasi solusi yang dapat menjawab kebutuhan customer.
Semua dukungan itu diberikan tanpa memberikan kewajiban partner untuk menggunakan solusi IBM sepenuhnya. "Jadi para partner ini bisa mengkombinasikan solusi IBM dengan solusi perusahaan teknologi lain," tambah Novan. Sebagai contoh, salah satu partner menggunakan solusi IBM Cloud Pak di atas infrastruktur AWS.
Keleluasaan yang diberikan kepada mitranya ini merupakan bentuk komitmen IBM dalam mengembangkan ekosistem. "Karena pada akhirnya, tujuan besar IBM adalah bagaimana mitra kami dapat menghadirkan solusi yang menjawab kebutuhan bisnis customer mereka," tambah Novan.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR