“Kami harus selalu put customer as a center of everything, karena nasabah adalah fokus kami,” tegas Kevin seraya menambahkan bahwa Amar Bank menyajikan layanan yang tidak hanya diinginkan tapi dibutuhkan pelanggan.
Interaksi yang minim ini menghadirkan tantangan tersendiri bagi Kevin dan tim teknologi Amar Bank, terutama dalam pengembangan produk dan layanan. Tak pelak, data dan analisis data pun menjadi sangat penting bagi bank digital untuk menciptakan produk yang bisa diterima oleh masyarakat.
“Kalau kita bicara riset, ada kuantitatif dan kualitatif. Ketika bicara kuantitatif, maka kita bicara data dari interaksi user di mobile apps itu sendiri, misalnya user ke halaman mana saja, apa informasi yang diklik user sebelum melakukan transfer, misalnya. Dan data analisis berdasarkan informasi itu akan jadi lebih penting lagi,” papar pemegang gelar Computer Engineering dari Dong-A University, Korea Selatan ini.
Meski saat ini data digital bisa diperoleh dari banyak sumber dengan mudah, Amar Bank tetap memerlukan cara-cara pengumpulan data langsung ke pelanggan, seperti wawancara dengan pengguna, focus group discussion dan sebagainya. “Karena dengan interaksi ini, kami bisa lebih membayangkan tipe-tipe nasabah kita, termasuk nasabah dari segmen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pada akhirnya kedua riset (kuantitatif dan kualitatif) saling melengkapi,” jelas Kevin.
Sebagai tim teknologi di bank digital, ia juga harus memastikan produk Amar Bank diterima oleh pengguna. Menurutnya, ketika sebuah perusahaan menjadi tech company, maka teknologi informasi (TI) adalah ujung tombak, yang bisa menentukan produk seperti apa yang akan dikembangkan dan disajikan ke pelanggan.
“Kalau kita bicara bank digital, penjualan produk tidak lagi dilakukan oleh, misalnya, tim sales atau account manager. Account manager itu diwakilkan di Playstore. Artinya, tugas tim teknologi adalah untuk memastikan bahwa produk itu bagus. Sehingga ketika user, misalnya, melihat review dan screenshot-nya, mereka mau mencoba terlebih dahulu. Dan ketika user sudah mencoba, mereka tidak akan uninstall aplikasinya,” ujar Kevin.
Memastikan Skalabilitas dan Interkoneksi
Di sisi teknis, Kevin melihat tidak ada perbedaan khusus dalam mengelola sistem perbankan di bank digital maupun di bank konvensional. Hanya saja, karena skalabilitas adalah keunggulan bank digital daripada bank konvensional, ia dan timnya harus memastikan hal tersebut diterapkan dengan baik di Amar Bank.
Selain itu, ia juga harus memastikan sistem core banking mampu melakukan interkoneksi dengan sistem-sistem lain dalam ekosistem digital, baik dari sisi internal bank, seperti Loan Management System, maupun sistem milik pihak ketiga yang bekerja sama dengan Amar Bank.
“Di bank konvensional juga pasti ada (tantangan itu) tapi skala mereka untuk terpapar tantangan tidak secepat bank digital. Ketika layanan dapat dilakukan tanpa tatap muka, akuisisi pelanggan bank digital akan lebih mudah. Pertumbuhan, misalnya penambahan rekening atau user baru, akan bersifat eksponensial,” jelas Kevin.
Hal ini juga berpengaruh pada aspek keamanan. “Dengan akuisisi yang lebih mudah, jumlah user lebih cepat naik. Sementara kolaborasi dan interkoneksi bukan hanya antara service dengan internal core tapi ada kolaborasi dengan pemain lain, misalnya payment gateway, fintech, dan lain-lain. Vulnerability-nya pun praktis juga meningkat. Secara end-to-end, bank digital berada di platform digital, potensi loophole dan eksploitasinya pun bertambah,” ujar Kevin.
Untuk menjawab tantangan ini, menurut Kevin, cukup banyak inisiatif yang sudah diimplementasikan Amar Bank, seperti membentuk dedicated security team, SOC team yang bekerja 24/7, mengimplementasikan tool dan sistem pengamanan, sampai menggelar program bounty.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR