Skor masih kosong-kosong ketika Andre Scurrle mengirimkan umpan matang ke kotak penalti. Di sana sudah menunggu Mario Gotze, yang dengan teknik sempurna, menahan bola dengan dada dan menendangnya dengan presisi ke pojok gawang. Kiper Argentina Sergio Romero tak bisa berbuat banyak, dan pendukung kesebelasan Jerman di Maracana Stadium pun bergemuruh. Jerman 1, Argentina 0.
Gol Gotze itu pun mengantarkan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014. Momen tersebut sebenarnya juga menandai dominasi Adidas, karena logo Adidas tertempel bola yang ditendang maupun pakaian pemain Jerman sang juara dunia.
Namun dominasi Adidas tersebut tidak berkorelasi di luar lapangan. Saat ini bisnis produsen peralatan sports asal Jerman tersebut berada dalam situasi sulit. Pangsa pasarnya di kawasan Amerika Serikat tergerus tajam, padahal AS menguasai empat puluh persen penjualan sportswear dunia. Tak hanya tertinggal dari Nike, Adidas bahkan dilibas oleh Under Armour, kompetitornya yang lain. Hal itu terlihat dari annual sales Adidas yang hanya mencapai US$ 1,1 miliar atau merosot hingga 23 persen.
Dibelenggu Outsourcing
Pangkal persoalannya terletak pada sistem outsourcing produksi yang diterapkan Adidas maupun produsen sportswear AS dan Eropa lainnya. Awalnya outsourcing dipilih karena alasan penghematan biaya. Pekerjaan produksi “dilemparkan” ke kawasan yang menawarkan biaya lebih murah, misalnya ke Asia Selatan.
Namun metode outsourcing ini lama kelamaan menimbulkan masalah. Selain mengendurnya quality control, proses produksi dan pengiriman barang juga menjadi kendala karena memakan waktu cukup lama. “Di Asia, dibutuhkan waktu antara 90 dan 60 hari untuk mengubah material menjadi produk,” ujar Gerd Manz seperti dikutip dari situs web Wired.co.uk.
Belum lagi tumpukan produk yang terpaksa diturunkan harganya (mark down) karena perencanaan yang terlalu optimis atau tak diminati lagi oleh konsumen. Di era internet saat ini, konsumen bisa segera dan dengan mudahnya melihat apa yang sedang nge-hits di luar sana. Walhasil, konsumen tidak terlalu tertarik dengan wholesale hari ini yang sebenarnya dipesan oleh toko sepatu sembilan bulan silam.
Upaya Tingkatkan Kecepatan
Menyadari kelemahan itu, pada bulan Maret 2015, CEO Adidas, Herbert Hainer mencanangkan strategi lima tahunan yang tujuannya adalah mengubah Adidas Group menjadi “the first true fast sports compay”.
Perusahaan yang berpusat di negara bagian Bavaria, Jerman ini pun berupaya sekuat tenaga memangkas waktu yang dibutuhkan dalam proses bisnisnya, misalnya mereduksi waste time dan ordering time. “Kami mati-matian mengurangi jumlah hari dalam proses yang berjalan dengan lebih berdisiplin,” ujar James Carnes (VP Brand Strategy).
Inisiatif memanfaatkan data diterapkan sejak tahun 2014. Adidas telah mengaplikasikan trend analytics, misalnya untuk memprediksi warna-warna yang akan menjadi tren. Namun tetap saja produk baru bisa dirilis ke pasar beberapa bulan kemudian.
Akhirnya, Carnes sampai pada kesimpulan bahwa ada dua masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan. "Pertama adalah hanya masalah ‘speed’: bagaimana kami bisa lebih cepat? Dan masalah lain adalah apa revolusi besarnya? Bagaimana kami sepenuhnya bisa mengubah model yang kami jalani saat ini? Apa alternatif yang benar-benar berbeda?” tandas James Carnes.
Manfaatkan Robotik
Adidas pun menemukan jawabannya di teknologi. Demi memacu kecepatan, Adidas menerapkan proses manufaktur terotomatisasi. Untuk tahap pertama, fasilitas manufaktur supercanggih bernama Speedfactory ini digelar di Ansbach, Bavaria. Dioperasikan oleh Oechsler Motion, melibatkan Siemenas dan pembuat robot Bielomatik dan Kuka, Speedfactory Jerman mulai beroperasi penuh tanggal 19 Oktober lalu.
"It's the future of shoemaking," ujar Gerard Manz (VP Technology Innovation) tentang Speedfactory. Spedfactory disebut sebagai proses kreasi yang terdesentralisasi, digital, dan terotomatisasi dengan desain yang didukung data (data-driven) dan konsep co-creation.
Teknologi robot berada di balik kecepatan produksi Speedfactory. Bagian bawah (sole) sepatu dibuat oleh mesin moulding berbasis teknologi robot. Bagian atas (upper) sepatu juga dihasilkan oleh mesin rajut robotic Primeknit. Dalam proses konvesional, sepatu olah raga biasanya tersusun atas beberapa bagian yang kemudian dirakit. Primeknit dapat merajut keseluruhan bagian upper shoes secara seamless.
Teknologi 3D printing juga tak lama lagi akan menjadi bagian dari Speedfactory. Saat ini Gerard Manz dan timnya masih bereksperimen dengan serat khusus buatan AMSilk dan teknologi 3D printing mutakhir besutan Carbon, startup yang didanai Google dan GE. Jika teknologi ini diterapkan pada tahun 2018 nanti, Adidas mengklaim Speedfactory dapat memproduksi 100 ribu pasang sepatu dengan midsole yang dicetak dengan printer 3D.
Namun dalam fasilitas manufaktur yang jauh lebih senyap daripada pabrik-pabrik di Asia itu masih ada beberapa proses yang harus dikerjakan secara manual. Misalnya, proses menjahit bagian upper shoes. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Adidas untuk mencari pekerja yang bisa melakukan pekerjaan manual karena industri sepatu olah raga nyaris sudah tidak ada di Eropa.
Pangkas Waktu, Angkat Penjualan
Speedfactory memangkas waktu proses manufaktur dari bulanan menjadi satu hari. Adidas juga dapat merealisasikan sebuah desain dengan produksi minimal 500 pasang per batch. Sebelumnya, sebuah desain harus dibuat setahun sebelum produksi dengan produksi sebanyak 50 sampai 10 ribu pasang sepatu tiap batch-nya. Reduksi jumlah minimal sepatu ini memungkinkan Adidas menjual sneaker dengan harga penuh, memenuhi permintaan dengan lebih akurat, dan mengurangi kelebihan stok.
Berkat volume batch yang lebih kecil, Adidas dapat menawarkan desain dan model yang lebih personal bagi konsumen. Produk pertama Speedfactory adalah AM4LDN (Adidas Made For London) untuk para runner di kota London. Desain bernuansa lokal juga akan dirilis Adidas untuk kota New York, Los Angeles, Paris, Tokyo, dan Shanghai. Adidas berharap penjualan akan terdongkrak karena model dan desain yang lebih sesuai kebutuhan konsumen.
Speedfactory juga menjaga kerahasiaan desain-desain baru karena proses manfaktur dilakukan secara in-house. Lebih kecil kemungkinan desain atau inovasi baru Adidas “diintip” kompetitor sebelum produk dirilis.
Speedfactory menjadi enabler kecepatan produksi, presisi, dan kecepatan merespon kebutuhan konsumen bagi Adidas. Speedfactory juga memampukan Adidas menciptakan produk dengan konsep co-creation dengan para atlet maupun konsumen pada umumnya. “Delivering what they want, when and where they want it,” tandas Paul Gaudio (Global Creative Director, Adidas) seperti dikutip dari situs Adidas-Group.com.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR