Saat masuk ke area produksi, INKA pun sudah menerapkan digitalisasi. Yang menarik, konsep digitalisasi yang dikembangkan INKA bukan berbasis robotik yang umum diadopsi perusahaan manufaktur. Hal ini tidak lepas dari karakteristik INKA yang memproduksi kereta dengan spesifikasi yang beragam. “Kami tidak mungkin membuat robot hanya untuk memproduksi 10-20 gerbong,” ungkap Agung. Belum lagi jika mengingat, INKA memiliki karakteristik industri manufaktur negara berkembang yang padat karya.
Karena itu, INKA bersama dengan ITB dan University of Manchester mengembangkan sistem yang unik. Sistem Manufaktur 4.0 khas INKA ini mencoba menggabungkan digitalisasi dengan keahlian individu (craftsmanship) setiap teknisinya.
Caranya, sistem akan melihat pekerja sebagai “robot”. Sistem akan menentukan secara detail tugas seorang teknisi untuk pekerjaan tertentu. “Untuk pekerjaan ini, teknisi X harus mengumpulkan komponen A, B, C, lalu di-assembling di workshop nomor sekian, dengan petunjuk operasional nomor sekian,” ungkap Agung mencontohkan detail instruksi yang dirilis sistem.
Setelah itu, teknisi tinggal menjalankan proses seperti yang telah digariskan. Setiap tahapan proses dicatat, sehingga visibilitas sistem terhadap proses produksi menjadi jelas. “Kami bisa tahu, part ini siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan berapa lama pengerjaannya,” ungkap Agung. Kualitas kerja tiap teknisi pun menjadi transparan, sehingga manajemen bisa memiliki data untuk memperbaiki kualitas produksi ke depan.
Rencana INKA ke Depan
Agung mengakui, digitalisasi di INKA belum total. “Mungkin sekitar 60% dari yang kami rencanakan,” ungkap Agung. Berbagai tantangan dihadapi, termasuk dari sisi People. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sebagian pekerja INKA adalah generasi senior yang jarang berhubungan dengan digital. Untuk mengatasi hal itu, INKA pun melakukan proses pendampingan. “Jadi ada tim yang keliling bantu [teknisi senior] memijit instrumen yang ada di station,” ungkap Agung sambil tertawa kecil.
Namun Agung yakin, seluruh target digitalisasi INKA fase 5 ini akan segera rampung, bahkan lebih cepat dari target awal di tahun 2025. “Dari sisi operasional, rencana kami tahun depan adalah inventori serta supply chain yang cerdas,” tambah Agung. Sedangkan di produk yang cerdas, INKA juga sudah berhasil mengimplementasikan remote reliability and maintenance systems di keretanya. “Jadi kami tahu apakah sebuah kereta sudah dirawat atau belum, butuh perawatan apa saja, dan sebagainya,” tambah Agung.
Karena itu, INKA saat ini sedang menyusun rencana transformasi fase berikutnya. Di fase enam ini, fokus INKA adalah menyediakan moda transportasi yang cerdas; bukan lagi sekadar perusahaan manufaktur. Autonomous train di TMII pun akan menjadi bukti awal transformasi tersebut.
“Saya berharap, project TMII ini menjadi “pecah telurnya” kita menuju Society 5.0” ungkap Agung penuh harap.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR