Agustus nanti, ada alasan baru untuk datang ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di bulan kemerdekaan Indonesia tersebut, TMII rencananya akan mengoperasikan kereta layang generasi terbaru. Kereta layang ini akan menggunakan tenaga baterai, tidak lagi diesel seperti generasi sebelumnya. Yang tak kalah penting, kereta layang ini adalah autonomous train alias beroperasi sendiri tanpa perlu masinis atau kondektur.
Setelah itu, di bulan Desember, TMII juga akan menyediakan bis yang bisa berjalan sendiri tanpa sopir. Akan ada 10 bus swakemudi yang berjalan mengikuti garis khusus mengelilingi taman terbesar di Indonesia tersebut.
Yang membanggakan, kereta dan bus tanpa pengemudi itu seluruhnya adalah buatan INKA. Perusahaan negara yang berpusat di Madiun ini diam-diam telah mengembangkan berbagai produk transportasi canggih yang tidak kalah dengan negara lain.
Selain di TMII, jejak inovasi INKA paling kentara tentu saja saat kereta LRT Jabodetabek beroperasi di Agustus 2022 nanti. Sebagai informasi, LRT ini akan berjalan secara otomatis dan hanya membutuhkan intervensi minimal dari masinis.
“Saat ini sedang finalisasi sistem,” ungkap Agung Sedaju (Direktur Pengembangan PT. INKA) dalam sebuah wawancara eksklusif dengan InfoKomputer.
Gambaran Proses Produksi INKA
Agung sendiri adalah sosok penting dari seluruh inovasi di INKA. Dalam posisinya saat ini, pria kelahiran Malang ini memiliki tugas utama mengarahkan pengembangan INKA agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. “Saya juga bertanggung jawab dalam pengembangan teknologi. Jadi teknologi akan dikembangkan ke arah mana,” ungkap Agung dengan logat Jawa Timuran yang lekat.
Secara prinsip, INKA saat ini fokus mengembangkan produk yang cepat (secara produksi), murah, dan berkualitas baik. Untuk mencapai itu, tiga pondasi utama yang harus dimiliki INKA adalah memiliki operasional cerdas, produk cerdas, dan ekosistem bisnis yang cerdas.
Untuk operasional cerdas, INKA telah memulainya sejak tahun 2012. Hal itu ditunjukkan dengan adopsi sistem ERP dari SAP untuk keseluruhan proses bisnis di INKA. Setelah itu, INKA mengadopsi sistem paperless systems. “Jadi gambar yang dibuat oleh tim teknologi dapat langsung diakses oleh tim produksi,” tambah pria ramah ini.
Saat mendesain sebuah kereta, INKA pun telah memanfaatkan proses yang sarat teknologi digital. Dari desain awal kereta, dilakukan digital prototyping untuk membuat 3D dari tiap komponen. “Jadi kita tahu, komponen ini tabrakan gak saat proses assembly,” tambah Agung. Setelah itu, dilakukan iterasi dengan metode finite element untuk memastikan daya tahan komponen tersebut.
Jika semua sudah sesuai, desain kereta akan dicetak menggunakan 3D printing. Di sini, pelanggan INKA bisa melihat dan merasakan miniatur kereta secara fisik. Dengan gambaran yang lebih nyata seperti ini, pelanggan pun dapat lebih mudah dalam mengambil keputusan menyetujui atau tidak desain tersebut. “Jika desain sudah firmed, baru kami lanjut ke produksi,” tambah Agung.
Manufaktur 4.0 Unik ala INKA
Saat masuk ke area produksi, INKA pun sudah menerapkan digitalisasi. Yang menarik, konsep digitalisasi yang dikembangkan INKA bukan berbasis robotik yang umum diadopsi perusahaan manufaktur. Hal ini tidak lepas dari karakteristik INKA yang memproduksi kereta dengan spesifikasi yang beragam. “Kami tidak mungkin membuat robot hanya untuk memproduksi 10-20 gerbong,” ungkap Agung. Belum lagi jika mengingat, INKA memiliki karakteristik industri manufaktur negara berkembang yang padat karya.
Karena itu, INKA bersama dengan ITB dan University of Manchester mengembangkan sistem yang unik. Sistem Manufaktur 4.0 khas INKA ini mencoba menggabungkan digitalisasi dengan keahlian individu (craftsmanship) setiap teknisinya.
Caranya, sistem akan melihat pekerja sebagai “robot”. Sistem akan menentukan secara detail tugas seorang teknisi untuk pekerjaan tertentu. “Untuk pekerjaan ini, teknisi X harus mengumpulkan komponen A, B, C, lalu di-assembling di workshop nomor sekian, dengan petunjuk operasional nomor sekian,” ungkap Agung mencontohkan detail instruksi yang dirilis sistem.
Setelah itu, teknisi tinggal menjalankan proses seperti yang telah digariskan. Setiap tahapan proses dicatat, sehingga visibilitas sistem terhadap proses produksi menjadi jelas. “Kami bisa tahu, part ini siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan berapa lama pengerjaannya,” ungkap Agung. Kualitas kerja tiap teknisi pun menjadi transparan, sehingga manajemen bisa memiliki data untuk memperbaiki kualitas produksi ke depan.
Rencana INKA ke Depan
Agung mengakui, digitalisasi di INKA belum total. “Mungkin sekitar 60% dari yang kami rencanakan,” ungkap Agung. Berbagai tantangan dihadapi, termasuk dari sisi People. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sebagian pekerja INKA adalah generasi senior yang jarang berhubungan dengan digital. Untuk mengatasi hal itu, INKA pun melakukan proses pendampingan. “Jadi ada tim yang keliling bantu [teknisi senior] memijit instrumen yang ada di station,” ungkap Agung sambil tertawa kecil.
Namun Agung yakin, seluruh target digitalisasi INKA fase 5 ini akan segera rampung, bahkan lebih cepat dari target awal di tahun 2025. “Dari sisi operasional, rencana kami tahun depan adalah inventori serta supply chain yang cerdas,” tambah Agung. Sedangkan di produk yang cerdas, INKA juga sudah berhasil mengimplementasikan remote reliability and maintenance systems di keretanya. “Jadi kami tahu apakah sebuah kereta sudah dirawat atau belum, butuh perawatan apa saja, dan sebagainya,” tambah Agung.
Karena itu, INKA saat ini sedang menyusun rencana transformasi fase berikutnya. Di fase enam ini, fokus INKA adalah menyediakan moda transportasi yang cerdas; bukan lagi sekadar perusahaan manufaktur. Autonomous train di TMII pun akan menjadi bukti awal transformasi tersebut.
“Saya berharap, project TMII ini menjadi “pecah telurnya” kita menuju Society 5.0” ungkap Agung penuh harap.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR