Seorang ilmuwan yang kerap dijuluki The God Father of Artificial Intelligence, memutuskan hengkang dari Google demi kebebasan menyuarakan risiko pemafaatan teknologi artificial intelligence (AI).
Mulai hari Senin kemarin, Geoffrey Hinton secara resmi menjadi bagian dari orang-orang yang mengkritisi kampanye agresif banyak perusahaan untuk menciptakan produk berdasarkan generative AI. Seperti diketahui, generative AI adalah teknologi di balik chatbot populer, seperti ChatGPT.
Sebelumnya Dr. Hinton bersikap hati-hati dalam menyuarakan kekhawatirannya tentang AI karena statusnya masih sebagai karyawan Google. Sejak bulan April, ia telah memberitahukan perusahaan soal pengunduran dirinya. Hari Kamis minggu lalu ia dikabarkan berkomunikasi via telpon dengan Sundar Pichai, CEO Alphabet, perusahaan induk Google. Namun Dr. Hinton menolak untuk membahas secara terbuka isi percakapannya dengan Sundar Pichai.
Tiga Kekahwatiran tentang AI
Melihat perlombaan AI saat ini, Dr. Hinton berpendapat bahwa sistem-sistem AI semakin berbahaya. “Lihat bagaimana AI lima tahun lalu dan bagaimana sekarang,” ucapnya seperti dikutip dari NY Times.
Menurutnya, sampai tahun lalu, Google masih bertindak sebagai "proper steward" untuk teknologi tersebut, berhati-hati untuk tidak merilis sesuatu yang dapat membahayakan. Namun dengan kompetisi yang kian tajam antara Microsoft dan Google di bidang AI, menurut Dr. Hinton, Google terjebak dalam persaingan yang tak mungkin dihentikan.
Dampak langsung AI yang dikhawatirkan Geoffrey Hinton adalah internet akan dibanjiri oleh teks, gambar, dan video palsu. Akan sulit bagi orang awam untuk membedakan yang benar dan tidak.
Hal lain yang dikhawatirkan ilmuwan asal Inggris ini adalah potensi AI menggantikan tenaga kerja manusia. Saat ini chatbot seperti ChatGPT dikatakan hanya melengkapi pekerja manusia, tapi bukan tak mungkin jika AI akan mengambil peran lebih dari itu di masa depan.
Dr. Hinton juga melihat AI di masa depan berpotensi menjadi ancaman bagi umat manusia karena AI juga mempelajari perilaku tak terduga dari sejumlah besar data.
Menurutnya, hal ini bisa menjadi masalah karena individu dan perusahaan mengizinkan A.I. sistem tidak hanya untuk menghasilkan kode komputer tetapi benar-benar menjalankan kode itu sendiri. Dan hal yang paling ditakuti Geoffrey Hinton adalah ketika senjata yang benar-benar otonom, atau ia menyebutnya sebagai robot pembunuh, menjadi kenyataan.
Ciptakan Cikal Bakal ChatGPT
Siapakah Geoffrey Hinton? Karier pria berusia 75 tahun asal Inggris ini boleh dibilang didorong oleh keyakinan pribadinya tentang pengembangan dan pemanfaatan AI. Seperti dikutip dari New York Times, pada tahun 1972, saat menjadi mahasiwa pasca sarjana di Universitas Edinburgh, Dr. Hinton meyakini ide mengenai neural network, sistem matematika yang mempelajari keterampilan dengan menganalisis data. Saat itu, tidak banyak ilmuwan yang percaya ide tersebut.
Pada tahun 1980, Dr. Hinton menjadi profesor di bidang ilmu komputer di Universitas Carnegie Mellon, tapi ia kemudian keluar dari kampus tersebut dan pergi ke Kanada. Disebutkan bahwa Dr. Hinton enggan menerima dana dari Pentagon karena ia sangat menentang penggunaan AI di medan perang. Sebagai informasi, pada masa itu, kebanyakan riset AI di AS didanai oleh Departemen Pertahanan.
Di tahun 2012, Geoffrey Hinton dan dua mahasiswanya di Toronto, Ilya Sutskever dan Alex Krishevsky, membangun neural network yang dapat menganalisis ribuan foto serta mengajarkan dirinya sendiri untuk bisa mengidentifikasi objek-objek umum, seperti anjing, bunga, dan mobil. Sistem inilah yang kemudian mengarahkan pada penciptaan ChatGPT dan Google Bard.
Berkat karyanya tersebut, Dr. Hinton dan dua muridnya menerima Turing Award yang sering disamakan dengan Noble Prize tapi khusus di bidang komputasi. Sementara perusahaan yang didirikan Dr. Hinton dan dua muridnya diakuisisi oleh Google dengan nilai US$44 juta. Ilya Sutskever sendiri kemudian menjadi Chief Scientist di OpenAI.
Ilmuwan dan Pemimpin Teknologi Soroti Risiko AI
Geoffey Hinton bukan satu-satunya ilmuwan yang mengkritisi perlombaan AI yang dipicu oleh kehadiran ChatGPT.
Setelah OpenAI merilis versi baru ChatGPT di bulan Maret, lebih dari 1000 pemimpin teknologi dan periset menandatangani surat terbuka yang meminta moratorium enam bulan terhadap pengembangan sistem baru karena teknologi AI dipandang menimbulkan "risiko besar bagi masyarakat dan kemanusiaan."
Beberapa hari sesudahnya, 19 orang pemimpin saat ini maupun mantan pemimpin dari Association for the Advancement of Artificial Intelligence, sebuah komunitas akademis yang telah berusia 40 tahun juga mengeluarkan surat yang memperingatkan tentang risiko AI. Termasuk dalam komunitas ini adalah Eric Horvitz, Chief Scientific Officer, Microsoft, yang telah mendeploy teknologi OpenAI di berbagai produk Microsoft, di antaranya mesin pencari Bing.
Source | : | NY Times |
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR