Oleh: Pierre Samson, Chief Revenue Officer (CRI) Hackuity
Perkembangan teknologi AI (artificial intelligence) bagaikan dua sisi mata uang dan kita tidak boleh lengah terhadap hal tersebut.
Meskipun AI dapat membantu kita menyelesaikan pekerjaan, banyak pula potensi risiko keamanan dan kerugian yang dapat terjadi.
Faktanya, banyak hacker (peretas) telah membuat virus atau malware menggunakan ChatGPT dan AI generatif.
Beberapa contoh serangan siber yang dapat dikembangkan dengan AI adalah smart malware, deepfake, atau adversarial attacks yang dapat memanipulasi siapapun dengan risiko kerugian besar.
Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap pengembangan AI yang rawan disalahgunakan dan selalu peka akan setiap perkembangannya.
Ironisnya, banyak orang yang masih meremehkan risiko tersebut, survei dari Salesforce terhadap para ahli Teknologi Informasi (TI) menunjukkan bahwa sebanyak 67 persen menggunakan AI generatif untuk mengembangkan bisnis mereka di masa depan, sementara hanya 33 persen di antaranya percaya hal tersebut dapat menimbulkan risiko baru terhadap keamanan data.
Meski demikian, jangan panik dahulu. Kemajuan teknologi AI ini bukan hal yang baru - mereka hanya mempercepat taktik peretas tradisional.
Perlu diingat, teknologi AI juga sudah digunakan oleh para ahli untuk membuat sistem keamanan digital yang memungkinkan mengidentifikasi anomali siber.
Terkait dengan hal tersebut, pelaku bisnis juga perlu memperkuat sistem keamanan sibernya. Saat ini, banyak perusahaan yang belum memahami hal tersebut.
Menurut laporan Cisco, hanya 15 persen di antaranya yang sudah memiliki sistem keamanan siber kuat.
Namun, perlu diingat bahwa memperkuat sistem keamanan siber bukan hal mudah, banyak langkah yang perlu dipelajari sehingga hal ini tidak dapat dilakukan secara terburu-buru.
Tentunya, bukan berarti kita harus takut dan meninggalkan potensi AI untuk membantu menyelesaikan pekerjaan.
Melainkan tetap memanfaatkannya dengan waspada dan menerapkan mekanisme unik yang mengharuskan setiap pengguna terautentikasi sebelum dapat mengakses data.
Hal tersebut dapat membantu kita mengatasi berbagai masalah keamanan terkini dalam pekerjaan setiap hari; prinsip yang dikenal dengan Zero Trust pada infrastruktur keamanan siber ini juga sesuai dengan sistem kerja remote dan hybrid yang bergantung pada teknologi cloud dari ancaman ransomware.
Namun, upaya tersebut tidak akan cukup apabila tidak diimbangi dengan kesadaran cyber hygiene.
Kesimpulannya, kita tidak boleh berprasangka dan sekedar membatasi akses saja dalam menjaga keamanan data.
Namun, kita perlu mengenali risiko yang ada dan mengambil langkah yang tepat untuk melindungi data.
Terlebih, pengembangan juga memerlukan pengawasan dan kolaborasi dari berbagai pihak untuk meminimalisir risiko ke depannya.
Baca Juga: Bagaimana Niagahoster Memanfaatkan Teknologi AI untuk Layanannya?
Baca Juga: Lima Rekomendasi Kursus Teknologi AI Beserta Link-nya untuk Pemula
Penulis | : | Rafki Fachrizal |
Editor | : | Rafki Fachrizal |
KOMENTAR