Sekelompok orang mengajukan tuntutan hukum kepada OpenAI sebagai pembuat aplikasi populer ChatGPT. Nilai gugatannya juga tidak main-main, yaitu sebesar US$3 miliar atau sekitar Rp.45 triliun.
Microsoft sebagai penyokong utama OpenAI juga menjadi pihak yang dituntut.
Dasar tuntutan hukum ini adalah penggunaan data yang digunakan OpenAI untuk melatih ChatGPT. OpenAI dituduh secara diam-diam mengumpulkan miliaran konten di internet, baik dalam format blog, artikel, atau e-book, tanpa persetujuan pemilik konten. Dengan kata lain, kepintaran ChatGPT dibangun di atas konten yang diambil secara tidak sah.
Pihak penuntut sendiri memilih merahasiakan identitasnya karena khawatir dengan dampak negatif dari tuntutan ini. Namun berdasarkan dokumen pengadilan sebanyak 157 halaman, pihak penuntut menggunakan kata-kata yang tajam, seperti “pencurian data” serta “pelanggaran privasi yang masif”. Tuntutan ini juga menyinggung dampak negatif penggunaan teknologi AI yang dapat mengubah kehidupan manusia.
Tuntutan ini pun tidak cuma menyasar aspek finansial dari OpenAI. Pihak penuntut juga meminta pengadilan untuk mengeluarkan perintah untuk menghentikan pengembangan dan pemanfaatan komersial dari ChatGPT.
Kontroversi Generative AI
Tuntutan ini kembali menunjukkan tarik-menarik teknologi Generative AI. Di satu sisi, Generative AI seperti ChatGPT berpotensi membantu manusia di berbagai aspek kehidupan, mulai dari belajar, bekerja, dan berinteraksi.
Namun di sisi lain, Generative AI pada dasarnya adalah aktivitas “merangkai” konten baru dari konten yang ada selama ini. Tanpa adanya konten lama, Generative AI sebenarnya tidak bisa membuat konten baru. Masalahnya, seperti tercermin dari tuntutan di atas, apa hak dari pemilik konten lama? Mengapa OpenAI bisa mendapat keuntungan finansial dari konten yang sebenarnya bukan milik mereka?
Tuntutan di atas mirip seperti yang dilakukan trio seniman bernama Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz. Ketiganya menuntut perusahaan Generative AI Stability AI dan Midjourney yang dianggap melanggar hak cipta dari jutaan seniman di seluruh dunia. Dasar tuntutannya pun serupa: Stability AI dan Midjourney sebenarnya hanya memproduksi karya seni baru dengan merangkai karya seni yang telah ada.
Menarik untuk melihat bagaimana pihak yang berwenang melihat kasus ini. Jika Generative AI dianggap tidak melanggar hukum, berarti setiap orang harus rela kontennya menjadi basis pengembangan teknologi ini. Namun jika dianggap melanggar hukum, perkembangan Generative AI pun akan menghadapi hambatan yang sangat kompleks.
Penulis | : | Wisnu Nugroho |
Editor | : | Wisnu Nugroho |
KOMENTAR