Menteri Komunikasi dan Informatika RI Budi Arie memperingatkan potensi risiko penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang dapat disalahgunakan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024.
“Apalagi nanti di Pemilu orang bisa berantem karena kecerdasan buatan. Yang tadi saya contohkan, coba suara, muka kamu digambar, difitnah, berantem enggak? Padahal hasil kecerdasan buatan,” ujar Budi Arie di Jakarta.
Budi Arie mengatakan AI memiliki potensi besar dalam memengaruhi proses pemilu dan mengingatkan bahwa konten negatif yang dibuat oleh AI, seperti misinformasi, dapat memicu konflik di masyarakat. Karena itu, masyarakat harus memahami sisi positif maupun negatif dari teknologi AI dalam perkembangan teknologi yang pesat.
“Kamu bisa berantem dengan teman karena kecanggihan kecerdasan buatan ini. Makanya kita jaga ruang digital ini,” ucapnya.
Budi Arie juga menyoroti perlunya regulasi terkait penggunaan AI dan pembuatan regulasi harus didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang dampaknya dan perlu menjaga etika penggunaan AI. Pemerintah sedang melakukan kajian untuk mengembangkan regulasi terkait AI, dengan fokus utama pada etika penggunaannya.
"Kami tidak bisa membuat regulasi secara gegabah tanpa pemahaman yang mendalam.
Jangan bikin regulasi ganti-ganti kan. Harusnya dilihat nih. Kita lagi kaji betul secara mendalam, ini apa dampaknya AI ini. Tapi yang pasti saya bilang soal ethic tadi,” katanya.
Terkait dengan penyebaran hoaks di media sosial selama Pemilu, pemerintah mendorong masyarakat untuk menjauhi hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian, serta untuk bersaing secara jujur dan adil dalam proses Pemilu.
Pemerintah berkomitmen untuk mengatasi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian melalui pendekatan teknologi, budaya, dan demokrasi, dengan tujuan menjaga integritas proses pemilu dan memastikan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi yang sehat, jujur, adil, dan damai.
Ancam Pemilu
Indonesia sedang memasuki tahun-tahun politik yang pemilu akan berlangsung pada tahun depan 2024.
Biasanya, serangan siber banyak terjadi selama tahun pemilu. Salah satu jenis serangan siber yang paling terjadi selama pemilu adalah DDos.
DDos Attack dilakukan dengan membanjiri server menggunakan paket data berkapasitas besar. Gempuran ini dilakukan bertubi-tubi sehingga sistem tidak dapat menampung data dan akhirnya rusak. Kalau sudah begitu, situs atau aplikasi yang diserang dengan DDos bakal sulit diakses pengguna lain.
Ke-dua adalah serangan siber berupa perubahan tampilan situs yang menayangkan hasil penghitungan suara. Jenis serangan itu ingin menunjukkan seakan-akan peretas mampu mengakses sistem penghitungan suara penyelenggara pemilu.
Ke-tiga adalah serangan phising atau metode mengelabui target untuk mengklik dokumen atau file yang disusupi malware atau ransomware.
Lumrah bagi peretas untuk mengirimkan tautan-tautan berisi malware dan ransomware. Metode phising belakangan juga jadi modus baru dalam kasus paket online.
Serangan siber lainnya dengan merusak jalur komunikasi yang digunakan mentransfer hasil penghitungan suara. Hal ini terjadi pada Pilpres Kenya pada 2017 lalu.
Ke-lima, serangan berupa perusakan integritas pada daftar pemilih online. Jenis serangan ini telah masuk ke internal sistem. Hal ini biasanya terjadi karena lemahnya sistem teknologi keamanan situs dari serangan siber.
Serangan tersebut dilakukan oleh peretas dengan sumber daya yang besar dan dilakukan secara terus-menerus. Serangan juga telah direncanakan dan melalui beberapa fase.
Ke-enam adalah pembocoran data pemilih. Pembocoran data pemilih dilakukan setelah peretas memiliki data pemilih.
Sementara jenis serangan ke-tujuh, adalah kampanye disinformasi yang menargetkan integritas penyelenggara pemilu dari proses pemilihan. Hal ini terjadi pada Pilpres 2019 di Indonesia.
Baca Juga: Takut Militer China Kuat, AS Hentikan Pasokan GPU AI Nvidia
Baca Juga: Perkuat Ekosistem AI, Xiaomi Kenalkan Antarmuka HyperOS Gantikan MIUI
Penulis | : | Adam Rizal |
Editor | : | Adam Rizal |
KOMENTAR