Pemimpin perusahaan menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam penggunaan artificial intelligence (AI). McKinsey merumuskan empat pertanyaan yang dapat membantu para pemimpin bisnis memperoleh manfaat dari AI generatif dan mengelola risikonya.
Use case AI generatif terus berkembang, mulai dari membuat kode pemrograman sampai mempercepat proses penemuan obat-obatan baru. Namun ada risiko-risiko nyata yang membuat perusahaan dan organisasi terjebak antara kekhawatiran ketinggalan dan salah langkah.
Sementara model AI generatif berpotensi meningkatkan efisiensi dan produktivitas, memangkas biaya, dan menghasilkan pertumbuhan baru. Kekuatan model-model fondasi ini terletak pada kemampuannya melakukan lebih dari satu fungsi, misalnya melakukakan klasifikasi, menyunting, meringkas, menjawab pertanyaan, dan membuat konten. Kemampuan ini memungkinkan perusahaan menerapkan AI generatif untuk beragam kebutuhan secara lebih mudah.
Menurut McKinsey, dewan direksi dapat membantu gerakan tim manajemen dalam mengadopsi AI generatif dengan mengajukan empat pertanyaan ini.
Menyusun strategi AI generatif yang masuk akal membutuhkan pemahaman tentang bagaimana teknologi dapat mempengaruhi industri dan bisnis dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Sedikit bocoran, berdasarkan penelitian McKinsey, gelombang pertama penerapan AI generatif akan terjadi di bidang software engineering, pemasaran dan penjualan, layanan pelanggan, dan pengembangan produk. Akibatnya, dampak awal AI generatif mungkin akan terjadi pada industri yang sangat bergantung pada fungsi-fungsi tersebut, misalnya, di perusahaan media dan hiburan, perbankan, barang konsumsi, telekomunikasi, ilmu hayati (life sciences), dan teknologi.
Namun bukan berarti sektor-sektor di luar itu harus menahan diri. Teknologi ini dan adopsinya berkembang begitu pesat. Hal itu tercermin dari jumlah pengguna ChatGPT yang bisa mencapai angka 100 juta dalam waktu hanya dua bulan.
Selain itu, riset McKinsey juga memperlihatkan bahwa AI generatif dapat meningkatkan produktivitas pekerja di berbagai industri, hingga mencapai nilai US$7,9 triliun secara global berkat adopsi teknologi di berbagai use case.
Seperti halnya jenis AI lainnya, pemanfaatan AI generatif menimbulkan kekhawatiran pada aspek privasi dan risiko etika, seperti potensi melanggengkan bias yang tersembunyi dalam data yang digunakan untuk melatih AI. Dan hal ini meningkatkan risiko pelanggaran keamanan dengan menghadirkan lebih banyak area serangan dan bentuk serangan baru, misalnya deepfake.
AI generatif juga berpotensi mengalami halusinasi sehingga akan menghasilkan informasi yang tidak akurat, tapi sulit dideteksi. Hal ini dapat membahayakan tidak hanya perusahaan tetapi juga masyarakat luas.
Oleh karena itu, menurut McKinsey, perusahaan perlu memahami nilai dan risiko dari setiap use case dan menentukan keselarasannya dengan risiko yang dapat ditoleransi perusahaan dan tujuan-tujuan lainnya dari perusahaan.
McKinsey menekankan bahwa pada dasarnya, AI harus selalu diawasi secara efektif oleh pihak yang merancang dan menggunakannya.
Mengingat pesatnya perkembangan AI generatif dan risiko yang ditimbulkannya, McKinsey menyarankan perusahaan untuk mengambil pendekatan yang lebih terkoordinasi dan jangan terjebak dalam pilot mode. Pendekatan yang terkoordinasi akan memudahkan penentuan prioritas use case dan memastikan visibilitas penuh terhadap risiko.
Bagaimana caranya? Para pemimpin perusahaan dianjurkan menunjuk satu eksekutif senior yang akan bertanggungjawab mengawasi dan mengontrol semua aktivitas terkait AI generatif.
Langkah kedua yang dianjurkan McKinsey adalah membentuk kelompok lintas fungsi yang terdiri dari para staf senior yang mewakili data science, engineering, hukum, keamanan siber, pemasaran, desain, dan fungsi bisnis lainnya. Kolaborasi ini diharapkan dapat memformulasikan dan mengimplementasikan strategi AI dengan cepat dan luas.
Jajaran manajemen juga dianjurkan membangun kemitraan dan aliansi yang luas demi terciptanya nilai dari AI generatif dengan cepat. Namun perusahaan juga diminta mewaspadai vendor lock-in dan risiko yang ditimbulkan oleh pihak ketiga.
Dalam pertanyaan ini, McKinsey mengajak perusahaan meninjau kembali kemampuan perusahaan pada tiga aspek: teknologi, talenta, dan budaya organisasi.
Pada aspek teknologi, McKinsey menyoroti pentingnya harmonisasi dan akses terhadap data; kemampuan mendesain arsitektur data yang scalable; pembaruan infrastruktur komputasi dan tooling yang mungkin dibutuhkan.
Adopsi AI generatif akan membutuhkan penilaian ulang terhadap talenta yang dimiliki perusahaan. Beberapa jenis pekerjaan mungkin akan hilang. Perusahaan juga mungkin akan membutuhkan bidang yang sama sekali berbeda atau baru.
Oleh karena itu, jajaran manajemen mungkin harus mengajukan pertanyaan kepada pimpinan perusahaan tentang pemahaman kebutuhan talenta AI dan rencana untuk memenuhinya. Selain itu, SDM yang sudah ada juga perlu dilatih untuk mengintegrasikan AI generatif ke dalam pekerjaan mereka sehari-hari dan membekali pekerja guna menjalankan peran-peran baru.
Namun McKinsey mengingatkan perusahaan untuk mempertimbangkan peringatan yang muncul dalam World Economic Forum, 14 April 2023 : menggunakan AI untuk menggantikan talenta di level junior akan membahayakan pengembangan kreator, pemimpin (leader), dan para manajer di masa depan.
McKinsey juga mengajak perusahaan untuk memperhatikan soal budaya organisasi yang akan menentukan kesuksesan adopsi dan implementasi AI generatif di sebuah perusahaan. Perusahaan yang sulit berinovasi dan berubah tentunya akan sulit mengimbangi kemajuan AI generatif.
Menurut McKinsey, dua hal yang melibatkan budaya organisasi dan menjadi kunci sukses adopsi AI generatif adalah budaya belajar, rasa tanggung jawab dan akuntabilitas bersama.
Baca juga: IBM Manfaatkan Potensi AI Generatif Guna Percepat Transformasi Digital
Baca juga: VMware Explore 2023 Singapore: Private AI Foundation Bantu Manfaatkan AI Generatif
Source | : | Mckinsey.com |
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR