Kehadiran perusahaan financial technology (fintech) seakan menjadi “angin segar” bagi Indonesia dalam merealisasikan target inklusi keuangan.
Seperti ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 82 tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, pemerintah menargetkan pada tahun 2019 setidaknya 75% dari populasi Indonesia sudah memiliki akses ke layanan finansial formal.
Untuk mengejar target itu, dibutuhkan satu pendekatan baru yang lebih scalable dan dapat mengakselerasi inisiatif-insiatif inklusi keuangan yang sudah ada. Fintech yang awalnya dianggap sebagai ancaman di bisnis keuangan kini justru menjadi salah satu strategi penting dalam meningkatkan inklusi keuangan.
Fintech dan platform digitalnya menawarkan model bisnis dan alternatif baru bagi pemerintah maupun insititusi finansial untuk memperluas jangkauan layanan keuangan. Chrisma Albandjar, Chief Communications Officer, DANA, mencontohkan bagaimana fintech dapat membantu pemerintah dalam mendistribusikan bantuan sosial.
“Setidaknya Rp700 juta digelontorkan pemerintah per tahun per desa, dan ada 74 juta desa di seluruh Indonesia. Atau menyalurkan dana bantuan sosial dari Kementrian Sosial kepada 48 juta rumah tangga di seluruh Indonesia,” ujar Chrisma di hadapan peserta acara Fintech Financial Inclusion Forum yang berlangsung di Jakarta, akhir Juli lalu. Menurut Chrisma, melalui fintech, pendistribusian bantuan dapat dilakukan dengan lebih mudah, efektif, dan efisien.
Sejalan dengan itu, Eny Widiyanti, Sekretaris DNKI Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian mengatakan bahwa ke depannya, pemerintah akan mendorong bank-bank BUMN untuk berkolaborasi dengan fintech sistem pembayaran. Karena saat ini bantuan kredit dan sosial dari pemerintah hanya bisa disalurkan oleh bank BUMN.
Menurut Eny, ada beberapa wilayah yang sulit dijangkau bank, yakni wilayah yang termasuk 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan) di Indonesia. "Untuk meraih yang di ujung-ujung ini, kami akan pakai fintech. Bank memang punya 800 ribu agen, tetapi belum tentu semuanya aktif," ujarnya lagi.
Sementara itu, Niki Luhur, Chairman, AFTECH (Asosiasi Fintech Indonesia), menekankan pentingnya Indonesia memiliki identity database. “Dua hal penting dalam layanan fintech adalah remote/electronic Know Your Customer, atau customer due diligence, atau bagaimana saya memvalidasi identitas calon nasabah. Hal kedua adalah digital signature, bagaimana saya memperoleh persetujuan calon nasabah,” papar Niki. Dua hal tersebut, menurutnya, dapat diselesaikan dengan basis data identitas.
Transformasi menuju transaksi digital ini tentu bukan tanpa kendala. Misalnya, bagaimana mengubah prilaku masyarakat agar mau beralih ke platform digital. Aldi Haryopratomo, CEO, Go-Pay, menyarankan agar fintech memanfaatkan budaya lokal yang sudah mengakar di masyarakat.
“Contohnya arisan, itu salah satu budaya mendasar di Indonesia, yang sebenarnya juga salah satu bentuk layanan keuangan. Kami mengubah arisan menjadi substitute for credit,” ujar Aldi. Oleh karena itu, Aldi menyarankan untuk memanfaatkan budaya-budaya lokal yang ada dan mengangkatnya ke platform digital.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR