Find Us On Social Media :

Regulasi Pemerintah dalam Menumbuhkan Industri Mata Uang Digital

By Rafki Fachrizal, Senin, 20 Mei 2019 | 17:30 WIB

Pertumbuhan ekonomi digital melahirkan industri-industri baru yang membutuhkan peraturan dan regulasi yang juga baru.

Beberapa industri yang telah hadir di era digital saat ini adalah teknologi finansial (tekfin) dan mata uang kripto.

Melihat itu, tentunya pihak regulator perlu memberikan peraturan yang mempermudah pemain kedua di industri ini untuk berkembang di Indonesia.

Sayangnya, salah satu yang memberatkan dari isi peraturan tersebut adalah modal awal yang harus dimiliki oleh pelaku industri, misalnya keharusan bagi pelaku industri kripto untuk menyiapkan modal awal sebesar 1 triliun rupiah, yang merupakan jumlah yang sangat tinggi, sementara untuk OJK sendiri menetapkan modal awal sebesar 2,5 miliar rupiah untuk pemain tekfin di Indonesia. 

Terlebih lagi, pemain kripto juga perlu mempertahankan 80% dana tersebut dan tidak dapat menggunakannya untuk investasi ulang bisnis mereka.

Menurut ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya, regulasi haruslah memberikan keseimbangan antara memungkinkan jalannya suatu industri yang dapat mendorong perkembangan ekonomi serta melindungi keamanan dan privasi masyarakat.

“Tantangan yang dihadapi pemain tekfin dan kripto saat ini adalah bisa tumbuh stabil dan minim potensi krisis. Dan hal ini harus ditunjang dengan regulasi yang memberikan keseimbangan  potensi ekonomi dan keamanan,” tuturnya.

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Riset INDEF tersebut, pemerintah haruslah mendukung kedua industri ini melalui regulasi yang berfungsi sebagai pelindung konsumen maupun sebagai peta panduan (roadmap) bagi kedua industri ini.

“Regulasi sandbox yang dibuat OJK terbukti bisa memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap industri tekfin di Indonesia,” katanya mencontohkan.

Baca Juga: TP-Link Umumkan Kehadiran Beragam Produk Barunya di Tanah Air

Senada dengan itu, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Cirebon Muhammad Lutfi menegaskan bahwa skala prioritas bagi OJK dalam menentukan peraturan untuk pemain P2P (Peer to Peer) Lending di Indonesia adalah perlindungan konsumen pengguna platform baik pihak peminjam maupun yang pemodal.

Selain itu, prioritas lainnya adalah penataan dan ketahanan modal penyelenggara.

“Regulasi tentu untuk menata kegiatan bisnis karena sebelumnya belum ada yang mengatur tentang hal tersebut. Jadi bisa menekan angka pemain P2P yang ilegal,” tuturnya.

Lutfi menambahkan, untuk membantu pertumbuhan P2P di Indonesia, selain membuat regulasi, OJK juga bekerja sama dengan asosiasi seperti Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dalam merumuskan kode etik dan mengkaji ulang aturan secara berkala.

“Kami mengakomodasi masukan-masukan dari para pemangku kepentingan dan mempertimbangkan untuk perkembangan ekosistem tekfin itu sendiri.”

Selain itu, tambahnya, peran OJK dalam mendukung industri ini di tanah air juga dilakukan melalui kegiatan edukasi dan literasi keuangan di berbagai daerah, termasuk skala nasional.

Saat ini, dengan regulasi yang ada, terdapat lebih dari 99 fintek yang telah terdaftar di OJK berdasarkan situs resmi lembaga tersebut

Jumlah peminjam dan pemberi pinjaman itu sendiri telah mencapai 5,16 juta entitas. Hal ini menunjukkan regulasi OJK bisa menstimulus pertumbuhan industri P2P di Indonesia.

Baca Juga: CDT Resmi Luncurkan Solusi Business Intelligence Milik MicroStrategy

Regulasi Industri Mata Uang Digital

Kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya regulator dibutuhkan untuk menjamin persyaratan dan peraturan yang konsistensi terhadap kedua industri ini terutama yang berkaitan dengan modal awal serta perlindungan terhadap dana konsumen.

Peneliti Center for Infrastructure Development Prasetiya Mulya Business School Josep Bely Utarja mengungkapkan tidak mudah memasukkan teknologi blockchain ke dalam kerangka regulasi yang ada di Indonesia.

“Untuk kripto, Bappebti harus menyadari bahwa meski jalan masuk regulasi ke industri ini adalah dari definisi komoditi, namun sebagaimana BI dan OJK, Bappebti juga memiliki keterbatasan wewenang. Perlu kerjasama dengan otoritas dan regulator lain terkait kripto ini,” tuturnya.

Menurutnya, Bappebti perlu memastikan pasar komoditi kripto berjalan wajar jika ingin pasar berjangkanya bisa tercipta.

“Tantangan regulasinya adalah menciptakan manajemen risiko yang tepat untuk pemegang komoditi kripto milik nasabah, manajemen risiko terhadap peretasan hackers atas hot wallet di centralized exchange, perlindungan nasabah dari manipulasi harga, dan ketidakpastian regulasi seperti legitimasi usaha dan masalah perpajakan terkait transaksi.”

Pasar komoditas kripto perlu diberi dorongan untuk tumbuh dengan memberikan jaminan regulasi yang tidak terlalu memberatkan.

Baca Juga: Gara-gara Blacklist Huawei, Perusahaan AS Berpotensi Rugi Besar

Profesor bidang ASEAN dari Guangxi University for Nationalities, China, Roy Darmawan mengungkapkan pertumbuhan industri digital seperti cryptocurrency saat ini memang berkembang pesat.

“Regulasi perlu konsisten dan bervisi ke depan serta memberikan kepastian jangka panjang. Kebijakan Bappebti harus menumbuhkan industri kripto ke depannya, namun tetap perlu pertanggungjawaban dari sisi security dan likuiditas,” tuturnya.

Menurut akademisi dari Universitas Indonesia tersebut, di Indonesia banyak terjadi perizinan namun di tengah-tengah diumumkan secara terbuka sebagai investasi yang dipandang bahaya.

“Tentu ini merugikan perusahaannya maupun penggunanya,”tutur Roy.

Roy menambahkan, era digital memunculkan kreativitas industri yang tidak terbendung. Dan pada umumnya memiliki dampak positif dalam menggerakkan perekonomian.

“Kebijakan Bappebti perlu memiliki visi ke depan sekaligus konsisten dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pertumbuhan industri ini,” pungkas Roy.

Baca Juga: JD.ID Hadirkan Promosi Besar-besaran untuk Pelanggannya Sambut Lebaran