Social commerce juga akan berbeda di Indonesia. Alasan pertama ialah faktor geografis dan logistik. Cina merupakan daratan besar yang terpusat. Sementara Indonesia adalah negara kepulauan yang tersebar sehingga memicu tidak efisiennya rantai pasok dan berdampak pada tingginya biaya logistik.
Alasan kedua, infrastruktur. Walaupun berbagai usaha dalam e-commerce telah berinvestasi pada infrastruktur, Indonesia belum memiliki ekosistem teknologi terintegrasi seperti Cina.
Sederhananya, Indonesia tidak mempunyai aplikasi super seperti WeChat. Banyak aplikasi social commerce di Cina menyematkan beragam fitur pada platform WeChat. Ekosistem teknologi seperti ini tidak ditemui di Indonesia.
Meski Cina memiliki pondasi e-commerce yang kuat, Indonesia tidak dapat sepenuhnya mengadopsi bisnis model dari sana. “Perlu ada penyesuaian, terutama bagi perekonomian di pelosok Indonesia,” terang Kaya.
Persoalan di Kawasan Rural
Solusi digital payment dan digital banking telah umum digunakan di kota-kota besar Indonesia, tetapi di kawasan rural masyarakat kebanyakan masih melakukan transaksi tunai.
Sekitar 60% populasi di perdesaan, atau 130 juta penduduk, tidak mempunyai rekening bank sendiri dan transaksi jual-beli secara kredit juga dilakukan secara tunai.
Para pemain e-commerce besar di Indonesia memang menyediakan fasilitas kredit, tetapi masyarakat di perdesaan cenderung menganggap proses pengajuan aplikasinya rumit dan terlalu banyak pertanyaan yang diajukan.
Sementara mereka tidak mengetahui jawabannya. Persoalan lain ialah harga. Karena kawasan perdesaan sulit diakses, biaya logistik dan pengiriman menjadi tinggi hingga mendongkrak harga produk.
Di provinsi-provinsi paling timur Indonesia, harga produk dapat mencapai dua kali lipat dari kota-kota level 1.
Penerapan model pengiriman di pelosok jelas tidak dapat disamakan dengan di kota besar karena harga produk menjadi tidak ekonomis, bahkan bagi platform besar pemenang persaingan.
Social Commerce adalah Bisnis Kepercayaan