Orang sering mengatakan social commerce masuk akal karena berbelanja adalah pengalaman sosial. Idenya ialah pengguna berbagi dan terhubung dengan teman, keluarga dan kenalan tentang produk yang dibeli. Social commerce secara sederhana mengimplementasikan ide tersebut.
Namun, itu bukanlah gambaran lengkap perekonomian di pelosok Indonesia. Walaupun berbelanja merupakan pengalaman sosial, Shox Rumahan percaya social commerce adalah bisnis kepercayaan.
Bersama para ketua komunitas di pelosok, seluruh tim Shox Rumahan memiliki tanggung jawab menjaga kepercayaan pengguna.
Di dalam komunitas perdesaan, anggota tidak mau mempercayai solusi berbasis teknologi. Mereka lebih percaya kepada tetangga, termasuk saat berbelanja daring.
Sekali saja transaksi jual-beli tidak memenuhi ekspektasi anggota, ketua juga kehilangan kepercayaan dan juga rasa hormat dari komunitas mereka.
Dibandingkan grup komunitas pembeli lain, risiko menurunnya kepercayaan di kawasan rural lebih tinggi, baik bagi pembeli maupun penjual. Penjual harus menanam kepercayaan pembeli.
Jika gagal, mereka bukan hanya kehilangan satu pembeli, tetapi juga seluruh anggota komunitas. Penawaran harga ekonomis memang penting, tetapi kepuasan pengguna jauh lebih penting.
Tarik Rural ke Ritel, Bukan Sebaliknya
Kaya melihat raksasa e-commerce Indonesia mengabaikan faktor-faktor tersebut sehingga efek trickle-down dalam ekonomi yang mereka rancang tidak akan bekerja di komunitas perdesaan.
Pemain tradisional e-commerce memfasilitasi persaingan dengan sangat baik. Mereka mendaftarkan sebanyak mungkin penjual dan mendorong sebanyak mungkin Stock Keeping Unit (SKU) di pasar.
Model ini menjaga harga tetap rendah, tetapi hanya bagi pembeli di kota tier-1. Sedangkan bagi pembeli di perdesaan harga menjadi tidak ekonomis akibat tingginya biaya pengiriman.
Tanpa penghematan biaya, sistem e-commerce tidak lagi menarik bagi pembeli di pelosok, terutama jika produk tidak sesuai kebutuhan.