Banyak PR Menanti
Memang, masih banyak PR pemerintah soal pengembangan sutra ini. Misalnya saja soal jumlah penenun yang makin lama makin berkurang. Hal ini disebabkan, generasi muda sekarang ini tidak punya keinginan untuk meneruskan usaha tenun milik orangtua mereka.
Keindahan sutera Wajo tampak jelas di galeri Kampoeng Sutera Semapange ini
Hal ini diakui salah satu penenun yang kami temui di Kampoeng Sutera Semapange yang tidak punya lagi generasi penerus karena anak gadisnya enggan menenun. Padahal dulu, bagi masyarakat Bugis Wajo, belajar menenun adalah sebuah kebanggaan dan kewajiban. Dan dalam tradisi masyarakat Bugis Wajo, gadis yang tidak bisa menenun dianggap belum sempurna menjadi perempuan dewasa.
Imbas dari berkurangnya jumlah penenun—dan semakin jarangnya bahan baku—ini adalah jumlah produksi yang juga berkurang sehingga akhirnya banyak toko yang tidak menjual sutra lagi. Mereka lebih memilih menjual sutra KW yang lebih murah dan mudah didapatkan.
Hal ini coba diatasi Pemkab Wajo dengan menggaet SMK-SMK di Wajo untuk memasukkan kurikulum menenun di sekolah mereka. Pemkab juga berupaya memberikan pelatihan-pelatihan untuk para perajin.
Hal lain yang menyebabkan berkurangnya minat menggunakan sutra asli adalah harganya yang cukup mahal ketimbang sutra KW. Karena itulah Pemkab berupaya meningkatkan kembali minat penggunaan sutra ini dengan berbagai cara. Misalnya saja dengan mewajibkan penggunaan sutra di kalangan ASN, membuat acara-acara untuk memperkenalkan sutra, menggaet para desainer untuk mempopulerkan sutra, dan sebagainya.
Pengembangan Kampung Wisata
Hal lain yang masih menjadi pekerjaan rumah Pemkab Wajo adalah pengembangan sutra bukan hanya sebagai komoditas, namun sebagai destinasi wisata. Kampoeng Sutera Semapange misalnya, yang punya potensi besar sebagai sentra destinasi wisata belanja tenun di Wajo.
Namun memang banyak hal yang perlu dikembangkan lagi di sana. Misalnya saja soal infrastruktur dan petunjuk ke kampung ini. Beberapa ruas jalan tampak masih rusak dan papan petunjuk menuju tempat ini pun sangat minim. Wisatawan, yang datang mandiri tanpa didampingi tur, akan kesulitan mengeksplorasi tempat ini apalagi untuk melihat masyarakat yang menenun.
Tantangan inilah yang diharapkan dapat dijawab Pemerintah Kabupaten Wajo dengan mengikuti Gerakan Menuju Smart City 2023. Melalui gerakan ini, jajaran aparat Pemerintah Kabupaten Wajo mendapat bimbingan teknis dari praktisi dalam menyusun program berbasis smart city. Mereka dibimbing dalam mengidentifikasi tantangan dan menjawabnya dengan memanfaatkan inovasi dan digitalisasi.
Harapannya, seluruh inisiatif yang lahir dari Gerakan Menuju Smart City 2023 dapat menjawab tantangan sekaligus meningkatkan potensi Kabupaten Wajo. Termasuk, mengembalikan kembali kejayaan Wajo sebagai Kota Sutera.
(Penulis: Rahma Yulianti)